Minggu, 30 Maret 2008

FEMINISME DAN MEDIA : PEREMPUAN PEKERJA

Jika kita melihat seorang perempuan kita pasti teringat akan sosok seorang ibu. Ibu identik dengan keanggunan dan kelembutan. Mungkin karena itulah dibuat suatu aturan atau norma-norma yang “membatasi” ruang gerak perempuan untuk menjaga keanggunan dan kelembutannya. Namun kaum feminis menyebutnya sebagai suatu diferensiasi atau pembedaan perempuan dengan laki-laki. Suatu peraturan yang membatasi ruang gerak perempuan untuk berpartisipasi di segala bidang, membatasi perempuan untuk berkespresi dan mengeksplorasi diri. Mereka menganggapnya sebagai diskriminasi gender. Tapi sekarang sudah banyak gerakan kaum feminis yang menuntut kesetaraan gender, baik dalam rumah tangga, pekerjaan maupun organisasi dan bidang-bidang lainnya.

Perkembangan pemikiran dan gerakan feminis sekarang ini memunculkan predebatan akademis yang cukup hangat. Salah satunya adalah permasalahan ketidaksamaan dan ketidakadilan gender. Berbagai pergulatan dilakukan, perang wacanapun diluncurkan untuk menunjukkan eksistensi feminisme di seluruh dunia. Cerita-cerita tentang perempuan yang memperjuangan hak-haknya dan tuntutan dalam persamaan gender di segala bidang bahkan diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan sering sekali diangkat dalam wacana media. Selain berfungsi sebagai sarana yang informatif, edukatif dan hiburan; media juga berperan dalam sosialisasi feminisme dan media pendukung terjadinya gerakan feminisme.

Dalam wacana mengenai perempuan, media selalu mengangkat berita mengenai kekerasan perempuan dalam rumah tangga, penyiksaaan tenaga kerja wanita di luar negeri dan ketangguhan perempuan dalam kemelut hidup. Tema-tema wacana tersebut sudah menjadi suatu ‘sarapan pagi’ bagi media, karena memang kehidupan perempuan berputar disekitar tema tersebut. Gerakan feminisme di Indonesia kurang berani, karena selalu tersandung dengan ideologi agama dan budaya, kontras sekali dengan gerakan feminisme di negara Barat. Karena itulah media selalu menjadi penengah bagi kemelut yang di hadapi gerakan kaum feminis, sebagai wadah kritis dan perang wacana bagi kaum feminis dan golongan yang kontra lainnya. Melalui media, perempuan memberikan seruan, melalui media pula perempuan menuntut adanya persamaan gender, penghapusan diskriminasi dan perbedaan gender, baik dalam pekerjaan (ekonomi), rumah tangga, politik, sosial maupun budaya.

Kita pasti mengetahui bagaimana sulitnya kaum perempuan mendapatkan kesetaraan gender dalam dunia kerja. Walaupun sudah di serukan bahwa tidak ada lagi diskriminasi kerja bagi kaum perempuan, namun tetap saja klasifikasi perempuan dalam pekerjaan itu ada. Di Indonesia pada khususnya, dan di dunia pada umumnya, sebenarnya diskriminasi gender atau klasifikasi dan pembedaan gender antara perempuan dan laki-laki itu terjadi karena adanya kecenderungan patriarki dalam kehidupan masyarakat. Yang mana masyarakat berfikir bahwa perempuan harus ada dibawah laki-laki, laki-laki adalah pemimpin, seorang istri harus patuh pada suami. Dalam dunia kerja pun terdoktrinasi bahwa perempuan itu lemah, perempuan mempunyai siklus menstruasi, hamil, melahirkan, mengasuh anak dan mengurus suami sehingga menjadi kendala dalam efisiensi kerja. Namun apakah hanya dengan alasan seperti itu, kita menyetujui adanya klasifikasi gender, diskriminasi perempuan di dalam pekerjaan? Apa lagi jika ditambahkan dengan ideologi agama dan budaya, ruang gerak perempuan semakin sempit. Dan ini terjadi karena berdasarkan aturan-aturan yang ada di dalam lingkungan golongan kelas atas, golongan elit dan ningrat; sedangkan dalam golongan kelas bawah sebenarnya tidak ada aturan seperti ini.



Kecenderungan Patriarki dalam Kehidupan Masyarakat

Unsur dasar dari ketidaksamaan gender dalam masyarakat yang bersumber pada terlalu kuatnya sistem patriarki yang berlangsung dalam masyarakat. Max Weber[1] mendefinisikan pariarki sebagai sebuah sistem pemerintahan yang mana kaum laki-laki mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala rumah tangga. Dan sistem tersebut dominasi dari para lelaki muda yang belum menjadi kepala keluarga juga tidak kalah pentingnya, jika tidak lebih penting dibandingkan elemen dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui rumah tangga.

Claudia Von Werlhof,[2] dengan perspektif radikal-historis menguraikan bahwa awal munculnya patriarki berasal dari “tradisi perang” di mana eksistensi patriarki dianggap tergantung sepenuhnya pada kelangsungan dan kesinambungan perang yang memposisikan kaum laki-laki sebagai kelas dominan karena kekuatan fisiknya. Perang juga mengakibatkan hancurnya sistem matriarki dalam masyarakat pra-perang. Dengan demikian logika patriarki merupakan logika perang yang berarti bahwa semua institusi sosial yang ditemukan dan diciptakan oleh patriarki secara prinsipil berasal dari pengalaman perang, baik dalam persoalan ekonomi, sosial-politik, maupun ketuhanan.

Ada pula pandangan kritis terhadap patriarki yang muncul dari para pemikir yang merupakan kelompok analisis sistem ganda. Kelompok ini berasumsi bahwa dasar patriarki ‘berjalan bersama’ dengan kapitalisme. Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa patriarki dan kapitalisme, karena dalam masyarakat feodal atau dalam masyarakat sosial sekalipun, patriarki itu suah ada. Kelemahan dari sistem ini adalah apakah mereka bisa dengan tepat untuk terus mempertahankan dualitas antara kapitalisme dan patriarki dalam analisisnya. Sedangkan para teoritis sistem ganda mempertahankan pembedaan patriarki dan kapitalisme dengan menekankan dua sistem tersebut pada level-level yang berbeda dari masyarakat, kapitalisme pada ekonomi dan patriarki pada ketidaksadaran.

Sementara itu, Walby mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik di mana laki-laki mendominasi, menekan, dan mengeksploitisir perempuan.[3] Gender bukanlah suatu pembagian yang dipaksakan oleh kelas dominan, dalam hal ini adalah laki-laki, tetapi ia telah menjadi sesuatu yang beroperasi melampaui resistensi dan menjadi sebuah consensus yang sangat alamiah dimana banyak kaum perempuan yang tidak menyadarinya

Dari uraian diatas patriarki bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem struktur sosial dalam masyarakat yang sudah berlangsung dalam rentang historis yang cukup lama dan bertransformasi secara kontinyu dimana kaum laki-laki mempunyai posisi dominan dan dengan posisinya itu mereka melakukan eksploitasi terhadap perempuan yang mewujud dalam praktik sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam ruang privat maupun publik.
Menurut Walby,[4] budaya atriarchal merupakan struktur yang diciptakan dari rangkaian beragam praktik-praktik patriarchal. Dalam dunia filsafat, agama pedidikan maupun norma-norma tradisi, perempuan seringkali menjadi subjek direndahkan, sementara laki-laki adalah subjek yang ‘berhak untuk berkuasa’.





Relasi Patriarkal dalam pekerjaan ber-upah

Menurut Walby,[5] kunci utama dari relasi patriarkal dalam pekerjaan ber-upah adalah penutupan akses oleh laki-laki untuk perempuan. Hal itu melibatkan dijauhkannya perempuan dari pekerjaan ber-upah atau pemisahan kerja-kerja perempuan di dalamnya. Kondisi itu menyebabkan devaluasi kerja perempuan dan upah yang rendah bagi mereka. ini telah menjadi fakta sosial dengan efek determinis, tidak hanya bagi perempuan di lingkungan kerja, tetapi juga di wilayah lain termasuk ruang domestic serta aspek lain dalam relasi gender. Relasi sosial yang terjadi adalah antara laki-laki, sebagai the excluder dan devaluer, dan perempuan, sebagai the excluded dan devalued.

Walby juga menambahkan bahwa dalam masyarakat kapitalis-industrialis saat ini, aspek konkrit dari relasi patriarkal adalah pembagian pekerjaan. Mempunyai beberapa bentuk baik secara vertikal dan horizontal dan antara full-time dan part-time. Dalam level hierarki vertikal dan horizontal, misalnya, perempuan seringkali dikategorikan sebagai ‘yang kurang mempunyai skill’ dibandingkan laki-laki. Pembedaan antara kerja full-time dan part-time membuat perbedaan jumlah proteksi legal yang diberikan kepada para pekerja.

Sejalan dengan pemaparan yang diberikan oleh Walby, Brian Martin,[6] secara reflektif mengatakan bahwa :
“Sistem kapitalis, telah memanfaatkan ketidaksamaan seksual untuk memperkuat control kapitalis, dari pada mempromosikan kesamaan seksual melalui pasar. Pembagian gender buruh bisa jadi memperlambat keseluruhan produktifitas ekonomi, namun juga bisa mengesahkan kekuatan kerja untuk dibagi atau dibedakan. Loyalitas laki-laki terhadap pimpinan diperkuat dengan keuntungan structural dari hadirnya perempuan. Bukanlah ‘sistem kapitalis’ anonym uang melakukan semua itu. lebih dari itu, laki-lak memang selalu mengendalikan posisi yang paling berkuasa sebagai kapitalis dan manajer sehingga secara personal mereka mempunyai keuntungan dari pelayanan yang diberikan para istri dan asisten perempuan. Para lelaki itu telah membuat keputusan untuk memapankan ‘upah keluarga’ dan bayaran yang tidak sama guna mengupah perempuan untuk tipe-tipe pekerjaan yang sama. Selain itu juga untuk membatasi efektivitas peraturan tentang hak-hak perempuan. Para elit laki-laki itu merupakan produk dari patriarki yang membentuk posisi puncak dan memberikan keuntungan bagi mereka dalam setiap tahap kehidupannya. Mereka telah menciptakan kebijakan yang mampu merespons keberadaan dua sistem, kapitalisme dan patriarki.”



Negosiasi Media: wacana feminisme dalam media

Media massa sebagai media komunikasi informasi ke masyarakat, sedikit banyak memberikan peranan yang cukup besar dalam pergerakan feminisme. Media sebagai wadah negoisasi kaum feminis, tempat pergulatan wacana kritis persoalan feminisme, yang berisikan pro dan kontra terhadap gerakan feminisme. Mengangkat suatu tema perempuan dalam setiap sudut pergerakannya. Misalkan, wacana mengangkat cerita perjuangan seorang perempuan dalam tuntutan sosial, ketidakadilan yang dialami perempuan dengan menggunakan alasan agama dan budaya, dan sebagainya.

Pada suatu wacana pada harian Kompas,[7] mengangkat sebuah tema perjuangan perempuan. Wacana ini menceritakan tentang seorang perempuan janda paruh baya bernama Marni, yang berjuang sendirian untuk tetap hidup dengan bertani cabai. Dalam wacana tersebut diilustrasikan bagaimana Marmi menjalani kehidupan sehari-hari dan kehebatannya dalam menghadapi tuntutan hidup. Marmi yang harus bergelut dengan tanah dan lumpur, belum lagi jika panas matahari mulai menyengat kulitnya. Bagaimana marni harus menggarap lahan sendirian, tanpa suami dan anak yang mendampinginya; dan bagaimana Marmi menghadapi kendala ketika musim hujan tanaman cabainya terendam banjir hingga mati, sedangkan setiap musim kemarau cabai bisa ditanam dan dipanen beberapa kali. Di sini terlihat bahwa adanya tuntutan sosial atas pribadinya sebagai individu sangat besar, suatu kondisi dimana sosok perempuan mampu menanganinya tanpa harus terperdaya oleh keterbatasan dan kelemahannya. Marmi yang harus ‘ngotot’ mengumpulkan uang karena adanya tuntutan sosial dalam kehidupan masyarakat di desanya, yaitu suatu sumbangan wajib namun tidak tertulis ketika tetangga atau keluarga mengadakan acara hajatan atau pesta pernikahan, dengan sumbangan ‘wajib’ per hajat atau peseta: Rp 15.000 untuk tetangga atau kenalan biasa dan Rp 100.000 untuk keluarga dekat. Coba bayangkan apa yang terjadi pada Marmi jika acara tersebut diadakan beberapa kali dalam satu bulan, dia pasti akan berusaha dengan lebih keras lagi untuk memenuhi semua ‘kewajiban’ tak tertulis tersebut. Dari wacana ini nampak sebuah opini atau banyak bahwa perempuan itu bukanlah sosok yang pantas untuk diremehkan, perempuan itu bukanlah mahluk yang cengeng yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam tuntutan sosial pun perempuan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya. Namun beberapa lingkungan pekerjaan kedang mendiskreditkan perempuan dalam bekerja, dengan alasan perempuan kurang produktif, memiliki waktu yang terbatas dan kurang bisa bekerja dengan maksimal, hal ini dikarenakan perempuan yang harus mengurus suami dan anak, mengalami proses menstruasi dan hamil yang tentu saja berhubungan dengan kesehatan mereka yang akhirnya mempengaruhi efisiensi mereka dalam bekerja.

Dalam wacana lain mengangkat tema tentang gizi buruk yang dialami oleh balita, dapat dipastikan berhubungan dengan perempuan sebagai sosok seorang ibu. Ketika seorang anak menderita gizi buruk, seringkali perempuan (sebagai seorang ibu) memiliki rasa paling bertanggungjawab karena ibu adalah orang yang paling dekat dalam pengasuhan anak balita, terutama dalam hal makanannya. Padahal sangat jelas sekali timbulnya masalah ini tidak selalu menjadi tanggungjawab perempuan. Sistem demokrasi dalam keluarga memberikan suatu persyaratan yang mana kegagalan tumbuh kembang anak adalah tanggungjawab seluruh keluarga, terutama bapak dan ibu. Bapak yang bertugas sebagai pencari afkah tidak bisa menyerahkan pengasuhan anak sepenuhnya kepada ibu (istrinya), apa lagi jika ternyata istrinya itu juga bekerja. Pada keluarga miskin trade-off yang terjadi apabila ibu yang bekerja adalah hilangnya kesempatan dia untuk mengasuh dan membesarkan anaknya secara optimal. Tapi, di lain sisi, seandainya ibu tidak bekerja dan penghasilan suami kurang mencukupi, maka seluruh keluarga akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan gizi dan kebutuhan hidup sehari-hari. Sebuah penelitian di India membuktikan bahwa tumbuh kembang balita yang tidak diasuh oleh ibunya karena ibunya bekerja, itu lebih baik dari pada diasuh oleh ibu yang tidak bekerja dan hanya mengandalkan penghasilan suami yang tidak mencukupi. Dari sini kita bisa menilai bahwa dalam kehidupan rumahtangga khususnya, perempuan itu memiliki peranan yang ganda. Yaitu sebagai ibu, pengatur rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, produsen dan kontributor penghasilan keluarga, dan pengatur organisasi kemasyarakatan yang berdampak pada kesejahteraan sosial. Inilah yang dikenal dengan empat peran perempuan.

Wacana-wacana tersebut memberikan kita suatu gambaran peranan media dalam memediasi wacana kritis, dalam hal ini adalah perempuan. Media berfungsi sebagai negosiasi antar kaum feminisme dan golongan yang kontra lainnya. pentingnya media dalam menampilkan suatu wacana feminisme sangat membantu dalam pergerakan kaum feminis tersebut dalam menunjukan eksistensinya. Para feminis bisa mengeluarkan seruan-seruannya akan kesetaraan gender, pengkritikan ketidakadilan gender, bahkan sampai dengan pengangkatan tematik ke khalayak ramai mengenai perempuan melalui media.




Kontra Hegemoni Patriarki

Penentangan kekuasaan patriarki dalam masyarakatpun sudah banyak dilakukan, apalagi kekuasaan patriarki yang berandas pada ideologisme agama. Dan perdebatan ini semakin seru saja. Media pun sering laki mengangkat tema perbincangan mengenai ideologi agama di dalam gerakan feminisme. Dan beberapa diantara kaum feminisme muslim pun menekankan bahwa di dalam islam tak tertera adanya diskriminasi gender, pembedaan perempuan terhadap laki-laki yang tertulis di dalam Alquran, bahkan Prof Nawal H Ammar, PhD,[8] tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa Nabi Muhammad dapat disebut sebagai feminis yang pertama, sebab Beliau memberikan hak-hak perempuan setara dengan laki-laki. Contohnya yang sangat populer adalah ketika Nabi marah ketika mendengar bahwa putrinya, Fatimah, akan dipoligami oleh suaminya, Ali bin Abi Thalib. Prinsip-prinsip kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki terdapat di dalam Al Quran. Pembacaan terhadap Al Quran yang dipengaruhi oleh budaya patriarkilah yang menyebabkan interpretasi terhadap kitab suci itu menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan. Ammar menyatakan bahwa feminisme sebagai konsep telah ada di dalam pemikiran para perempuan di negara-negara Islam, jauh sebelum istilah feminisme menjadi jargon Barat.

Para perempuan di Mesir awal abad ke-20 sudah menentang ketidakadilan yang dialami perempuan dengan menggunakan agama, yaitu mengenai kerudung yang menjadi keharusan bagi perempuan Mesir dan bukan menjadi pilihan berdasarkan kesadaran diri bagi kaum perempuan.
Sementara itu, feminisme sebagai suatu pergerakan dimulai oleh perempuan kelas bawah kulit putih di Amerika pada akhir abad ke-19, kemudian disusul dengan feminis gelombang ke dua pada tahun 1960-an dan feminisme gelombang ke tiga muncul bersamaan dengan feminisme gelombang ke dua. Masing-masing gelombang feminis ini mempunyai visi dan misi tersendiri. Feminis gelombang ke dua dan ke tiga tidak hanya memperjuangkan penghapusan diskriminasi berdasarkan gender, tetapi juga ras, etnis dan kelas yang terlihat secara langsung atapun terselubung di dalam pemikiran yang tercermin melalui bahasa.
Interpretasi kembali terhadap teks keagamaan menjadi sangat penting untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi dengan mengatasnamakan agama. Menurut Prof Rita Gross,[9] PhD, agama harus terus diinterpretasi dari waktu ke waktu agar tetap relevan dengan kehidupan manusia penganutnya, atau agama itu akan ‘mati’.
Di sini pokok permasalahannya adalah orang yang melakukan interpretasi tidak pernah bebas dari latar belakang budayanya yang pastinya akan mempengaruhi pola pemikirannya. Dari sinilah muncul pertarungan wacana, upaya untuk membongkar interpretasi terhadap teks-teks keagamaan, terutama teks-teks dalam fikih Islam.




Akhiran

Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa adanya peranan media di dalam suatu pergerakan komunitas, dalam hal ini adalah feminisme, yang mana media memegang peranan yang cukup penting. Persoalan-persoalan kaum perempuan ‘diangkat kepermukaan’ dengan begitu apik, menghasilkan suatu wacana kritis terhadap feminisme. Media juga berperan sebagai penengah antara feminisme dan kontra feminisme. Bagaimana tidak? Dalam pertarungan wacana tak perlu bertatap muka, semua sudah ditampilkan begitu rapi, sehingga pertarungan sengit yang dapat menimbulkan masalah yang beruntun pun dapat dipersempit. Media pula lah yang membuka gerbang kebebasan feminisme didalam melacarkan visi dan misinya, untuk penuntutan kesetaraan perempuan dengan laki-laki.

Media pula lah yang membuka suatu persoalan-persoalan yang terselubung seperti human trafficking, dalam hal ini adalah kaum perempuan, penyiksaan tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri; sehingga gerakan feminis lebih mudah melakukan ‘invansi’nya terhadap diskriminasi, penindasan dan perbedaan perempuan.
Seperti berita terbaru yang di tampilkan di media, cerita mengenai TKW Indonesia di Malaysia, Ceriyanti, yang mengalami penyiksaan yang sangat tidak manusiawi, kabur melalui jendela kamar apartemen milik majikannya hanya dengan menggunakan tali yang terbuat dari kain-kain pakaian yang dikaitkan; dan proses kaburnya Ceriynati ini yang akhirnya terkatung di pinggiran jendela karena talinya yang kurang panjang, hebatnya kaburnya Ceriyanti yang mengalami kendala karena tali yang kurang panjang tersebut diketahui oleh wartawan berita setempat sehingga proses evakuasi Ceriyanti dan tindakan lanjut segera dilakukan. Hal ini secara spontan langsung mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan. Inilah hebatnya media masa, membuat suatu kondisi tertentu, mendramatisir, dan mem-blow-up-nya dengan begitu apik, menyentuh dan menarik sehingga menimbulkan reaksi-reaksi tertentu dari para pembacanya.


A walk to remember my journey,19 Juni 2007
Indah Rephi (23919/IV/-13/9/06)
Matakuliah : Berita dan Cerita
Dosen Pengampu: Dr. Suroso








DAFTAR PUSTAKA

Brian Martin, “Patriarchy”, Chapter 5 of Tied Knowledge: Power in Higer Education, dalam makalah review Ikwan Setiawan, “Membaca (lagi) Struktur Patriarki dalam Masyarakat”.

Claudia von Werlhof, “Capital Patriarchy and the Struggle for a ‘Deep’ Alternative”, makalah yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional bertajuk A Radically different world view is possible. The gift-economy inside and outside Patriarchal Capitalism, Las Vegas, USA, 13th-14th of November 2004, diakses dari http://uuhome.de/global/downloads/LasVegas.pdf.

Harian Kompas, 22 Januari 2007

Harian Kompas, 15 Juni 2007

Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989. dalam makalah review Ikwan Setiawan, “Membaca (lagi) Struktur Patriarki dalam Masyarakat”.

[1] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[2] Claudia von Werlhof, “Capital Patriarchy and the Struggle for a ‘Deep’ Alternative”, makalah yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional bertajuk A Radically different world view is possible. The gift-economy inside and outside Patriarchal Capitalism, Las Vegas, USA, 13th-14th of November 2004, diakses dari http://uuhome.de/global/downloads/LasVegas.pdf.

[3] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[4] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[5] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989. dalam makalah review Ikwan Setiawan, “Membaca (lagi) Struktur Patriarki dalam Masyarakat”.
[6] Brian Martin, “Patriarchy”, Chapter 5 of Tied Knowledge: Power in Higer Education, dalam makalah review Ikwan Setiawan, “Membaca (lagi) Struktur Patriarki dalam Masyarakat”.

[7] Artikel yang dimuat dalam Harian Kompas, 15 Juni 2007. berjudul “Marmi, Pergulatan Perempuan Desa” yang ditulis oleh FX Laksana Agung Saputra.
[8] Harian Kompas, 22 Januari 2007. Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih, “Pertarungan Interpretasi di Ruang Publik”.
[9] Harian Kompas, 22 Januari 2007. Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih, “Pertarungan Interpretasi di Ruang Publik”.

Tidak ada komentar: