Minggu, 30 Maret 2008

kolonialisme dan perempuan

Perempuan-Perempuan “Cinderamata” Dari Jepang
(Jejak Kolonialisme yang Masih Terus Membekas)


“Saya tidak kuasa menahan amarah kala mendengar sikap Jepang! Saya hanya menginginkan pernyataan resmi dan pampasan dalam bentuk uang ganti rugi dari pemerintah Jepang. Sangat keliru bila pemerintah Jepang mengira masalah ini dapat diselesaikan hanya dengan sekedar menawarkan uang”.[1]

Awalan: Sebait Cerita Tentang Kolonialisme

Tidak ada satu bangsa pun yang mau dijajah. Dicopet, mungkin hal kecil yang dapat dianalogikan dengan dijajah. Tidak ada yang bisa disalahkan jika seseorang kecopetan, kalau menyalahkan satu hal, pasti akan diikuti dengan menyalahkan yang lainnya, jadi tidak akan tercapai sebuah titik temu. Bangsa Indonesia pun pernah mengalami “indahnya” bangsa yang terjajah. Setidaknya dalam kurun waktu 350 tahun dan Jepang adalah satu-satunya negara di Asia yang pernah menjajah Indonesia. Peristiwa-peristiwa traumatik yang membekas seumur hidup. Diakui atau tidak, dibenci atau dicintai, telah terjadi inkulturasi antar budaya-budaya yang ada, pendokumentasian, pelestarian dan peninggalan produk-produk kolonial bisa ditemukan di berbagai daerah dan dalam berbagai segi kehidupan manusia.Setelah penjajah pergi dari tanah air, bukan berarti bahwa tindakan penggusuran, penghapusan, penggantian nama elemen-elemen pembentuk budaya kolonial dapat sepenuhnya dibenarkan. Karena representasi kolonial yang berupa karya sastra, kesenian, arsitektur, gaya hidup dan lain lain, selain dapat dipelajari sebagai budaya kolonial yang berdiri sendiri juga dapat dianalisa untuk mempelajari ideologi Kolonialisme yang diterapkan di Indonesia. Bisa dikatakan “inilah warisan kolonialisme di Indonesia”.

Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan.

Pendukung dari kolonialisme berpendapat bahwa hukum kolonial menguntungkan negara yang dikolonikan dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan untuk pemodernisasian dan demokrasi. Mereka menunjuk ke bekas koloni seperti AS, Australia, Selandia Baru, Hong Kong dan Singapura sebagai contoh sukses pasca-kolonialisme. Peneori ketergantungan, seperti Andre Gunder Frank, berpendapat bahwa kolonialisme sebenarnya menuju ke pemindahan kekayaan dari daerah yang dikolonisasi ke daerah pengkolonisasi, dan menghambat kesuksesan pengembangan ekonomi. Sedangkan pengkritik post-kolonialisme seperti Franz Fanon berpendapat bahwa kolonialisme merusak politik, psikologi, dan moral negara terkolonisasi. Seorang penulis dan politikus dari negara India, Arundhati Roy, berkata bahwa perdebatan antara pro dan kontra dari kolonialisme/ imperialisme adalah seperti "mendebatkan pro dan kontra pemerkosaan".

Studi kolonialisme adalah sebuah studi baru yang mempelajari bagaimana kolonialisme diterapkan pada suatu bangsa, studi yang mempunyai tiga tokoh sentral, Edward Said, Homi K. Bhaba, dan Gayatri Chakravorty Spivak hadir untuk menandingi pandangan barat yang selama ini telah menguasai “masyarakat timur”. Kajian-kajian budaya tentang kolonialisme telah banyak hadir dalam wacana dunia membuka mata para peneliti untuk menganalisis strategi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial dan fenomena kolonialisme yang hadir, meskipun banyak negara bekas jajahan negara lain, tapi tidak dapat dikatakan bahwa metode yang dipakai satu negara penjajah sama dengan negara penjajah lain. Kebesaran hati dan berpikir panjang adalah sikap yang diperlukan untuk bisa menerima sesuatu yang telah ada meskipun pada awalnya tidak setuju, tapi bukan berarti apatis, tidak melakukan apa apa, melainkan kebesaran hati dengan kesadaran bahwa peninggalan sejarah harus dilestarikan. Tidak semua karya-karya individu yang hadir dalam masa pemerintahan kolonial dapat dikategorikan sebagai “karya yang salah” atau “tidak sesuai dengan budaya Indonesia”, karena sampai saat ini masih berdiri karya-karya yang “ternyata” sesuai dengan lingkungan Indonesia. Dengan tetap dijaga dan dilestarikannya warisan budaya kolonial yang ada otomatis kemudahan perolehan data-data fisik tentang proses kolonisasi di Indonesia masih terbuka lebar.

Dapat dikatakan bahwa mahluk yang paling menderita pada masa koloni adalah perempuan. Kita bisa melihat, bagaimana konsep “sistem perbudakan seksual militer Jepang” merupakan suatu mekanisme yang kejam dengan cara paksa menyediakan praktik-praktik seksual untuk para pegawai sipil dan prajurit-prajuritnya. Tidak hanya penderitaan fisik akibat perkosaan yang dilaukan secara sistematis selama bertahun-tahun, tapi juga derita batin yang dibawa sepanjang hidupnya. Jugun ianfu (Momoye), budak seks serdadu Jepang, adalah salah satu potret buram yang ditorehkan Jepang dalam sejarah bangsa Indonesia. Momoye juga merupakan potret perjuangan seorang perempuan yang mencari keadilan, bukan demi dirinya sendiri, tetapi juga bagi dunia agar ketidakadilan serupa tak terulang dalam perjalanan hidup manusia.

Menurut Jeffrey Alexander,[2] trauma sering dikemas dalam perspektif enlightenment thinking yang melihat trauma sebagai respons rasional terhadap hal-hal yang tidak kita inginkan baik dalam konteks individual maupun komunal. Contohnya, kekalahan perang menyebabkan kemarahan dan kehilangan tujuan. Responsnya adalah mengubah keadaan yang menyebabkan hal tersebut. Masa lalu akan menentukan upaya-upaya ini di masa depan dan berbagai strategi program dibuat. Padahal, menurutnya, ada perspektif lain yang memberi alternatif untuk melihat trauma budaya tersebut. Psychoanalytic thinking menurut Zeffrey memberikan alternatif pada cara pandang realis dan naturalis tersebut. Trauma budaya akan sembuh katanya kalau memori yang terkait dengan penyebab trauma itu dihadirkan kembali secara proporsional. Dengan kata lain, klaim traumatis perlu didiseminasikan kepada publik. Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini mencoba mengelola kembali pengalaman traumatis tersebut. Setidaknya para Jugun Ianfu sudah mulai berani bicara atau diwawancarai di berbagai media massa. Berbagai karya kreatif ditulis tentangnya. Selain itu, tentu, masyarakat Indonesia pun, selalu membuat acara di hari kemerdekaan Indonesia,setiap tanggal 17 Agustus, dalam rangka menghadirkan saat-saat penting yang mengubah jalan bangsa tersebut.

Jugun Ianfu: perempuan yang terlupakan

Jugun ianfu (従軍慰安婦) adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada perempuan yang menjadi budak seks (wanita penghibur, atau comfort woman) selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang. Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945. Tak hanya perempuan Indonesia saja yang dijadikan jugun ianfu, namun juga perempuan-perempuan Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya, Thailand, Filipina, Myanmar, indo, Belanda dan daratan Pasifik. Awal tahun 1990-an, jeritan Jugun ianfu di Indonesia mulai terdengar dan kata Jugun ianfu itu sendiri juga mulai dikenal. Dalam konteks sejarah kolonialis di Indonesia, Jugun ianfu tidak identik dengan pelacur atau pekerja seks komersial (PSK). Jugun ianfu dalam masa penjajahan Jepang adalah wanita baik-baik, gadis remaja atau wanita muda yang dipaksa dijadikan pelampiasan nafsu seks tentara-tentara Jepang.

Para perempuan Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan, diambil begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka. Mereka diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem). Sampai saat ini, para mantan jugun ianfu masih merasakan trauma psikologis dan gangguan fungsi fisik akibat pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Belum lagi masyarakat yang tidak memperoleh informasi dengan benar, justru menganggap mereka sebagai wanita penghibur (tanpa paksaan).

Tidak dapat dimengerti dan bahkan tidak dapat diterima alasan mengapa Jepang “mengajak” para perempuan tersebut menjadi jugun ianfu. Suatu penelitian sejarah pemerintahan Jepang mencatat beberapa alasan mereka mendirikan rumah bordil militer. Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan keefektivan militer tentara Jepang akan meningkat. Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah berharap dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Terakhir, pengadaan rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan ijin istirahat bagi tentara.[3]

Berbagai cara mereka lakukan untuk menjerat perempuan-perempuan lugu untuk dijadikan jugun ianfu. Pada tahap awal perang, penguasa Jepang mengambil pelacur melalui cara konvensional. Mereka memasang iklan yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur muncul di koran-koran yang terbit di Jepang dan koloni Jepang di Korea, Manchukuo, dan daratan Tiongkok. Pada awalnya yang menanggapi iklan ini adalah para pelacur dan menawarkan jasa mereka secara sukarela. Sedangkan yang lainnya dijual oleh keluarga mereka kepada militer karena kesulitan ekonomi. Namun pemerintah menghentikan “penyaluran perempuan” dari negaranya, dengan alasan mereka dapat mencemari nama Kekaisaran Jepang. Karena itu mereka mulai mencari wanita penghibur di luar Jepang, termasuk Indonesia.

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, para perempuan yang dijadikan jugun ianfu itu akhirnya pulang ke rumah atau kekampung halaman masing-masing. Tentu saja kepulangan gadis-gadis yang tidak perawan lagi itu dengan segenap luka dan derita. Tak cuma secara fisik, tetapi batin mereka pun benar-benar sakit. Lebih dari itu, seluruh masa depan dan kehidupan mereka menjadi hancur. Betapa tidak, mereka dipaksa “melayani” 10 sampai 15 orang dalam sehari. Sementara makanan yang diberikan pada jugun ianfu ini hanya sekedarnya. Ada yang dua kali, bahkan ada yang hanya diberi makan sekali sehari. Asal hidup dan mampu menjalankan “tugas”. Tanpa ada pemeriksaan dan pemeliharaan kesehatan yang memadai. Banyak diantara mereka mengalami perdarahan dan kerusakan rahim. Selepas dari kamp, dalam kehancuran hidupnya, mereka dikucilkan oleh sanak saudara dan kawan-kawan.

Tahun 1945, setelah Indonesia merdeka hingga 1990 bahkan sekarang, derita Jugun ianfu wanita Indonesia tak pernah dibicarakan dalam pelajaran-pelajaran sejarah di sekolah. Juga, setahu saya tidak tertulis. Kalau jugun ianfu kemudian tercanang dan menyebar dalam pemberitaan, tak lain karena sang korban mulai berani mengungkap masa lalunya. Menyusul para jugun ianfu di negara-negara lain seperti Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Korea dan negara lainnya yang pernah menjadi jajahan Jepang meneriakkan kebiadaban bangsa tersebut. Dan mereka menuntut Pemerintah Jepang agar membayar ganti rugi atas pengorbanan dan derita yang dialaminya. Namun, hampir satu dasa warsa berlalu, tuntutan tinggal tuntutan. Meskipun pihak-pihak yang peduli, seperti LSM di Indonesia mendata dengan baik fakta-fakta dan kisah kelam para Jugun ianfu di berbagai daerah di Indonesia. Mengubur sejarah, dapat berakibat terulangnya kesalahan masa lalu oleh generasi di masa mendatang. Itulah sebabnya, menegakkan keadilan bagi jugun ianfu, berarti pula menegakkan keadilan dimasa yang akan datang.

Indonesia menyatakan diri sebagai salah satu negara korban dalam gerakan mencari keadilan dan pemulihan kehormatan bagi para korban perbudakan seksual militer Jepang. Menurut pemantauan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, saat ini masih hidup ratusan korban di berbagai tempat di Indonesia dengan jumlah terbanyak di Pulau Jawa. Pusat-pusat perbudakan seksual yang dibangun di berbagai tempat di Indonesia memang atas ijin dari pemerintah militer Jepang. Personil sipil maupun militer Jepang pada waktu itu terlibat dan mendudukung perbudakan seksual di wilayah pendudukan yang direbutnya dari Belanda. Perbudakan seksual tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 dan merupakan kejahatan perang. Resolusi MU-PBB No.2391/XXII/1968 dan perjanjian Dewan Eropa No. 82 tanggal 2 Januari 1974 menyatakan bahwa berlalunya waktu sama sekali tidak menyurutkan tanggung jawab suatu negara untuk mengusut, menuntut, mengadili dan menghukum warganya yang terlibat. Setiap korban beserta keluarganya pun layak mendapat kompensasi dan pemulihan nama baik.
Menuntut Keadilan: perempuan-perempuan yang terluka

Ada yang menyebutnya “Jugun Ianfu”, ada pula yang menyebutnya “Comfort Women”, bahkan ada yang menjulukinya “Ransum Tentara Jepang”. Namun, satu hal yang tak pernah disebut bahwa mereka adalah bagian dari sejarah pendudukan Jepang yang menyakitkan. Mereka korban kekerasan yang diderita sepanjang hidup, dan kita berhutang pada mereka. Penjajahan selalu meninggalkan cerita pilu. Kekerasan, pemaksaan, dan perkosaan menjadi cerita duka yang harus dialami rakyat daerah jajahan.

Beberapa perempuan mantan jugun ianfu mulai membuka suara, menceritakan duka deritanya semasa kolonialisme Jepang. Perempuan-perempuan belia menjalani pengalaman yang begitu menyayat. Menceritakan masa penjajahan Jepang, sama artinya menyibak luka lama. Masa remaja yang semestinya dilalui dengan keceriaan justru merupakan petaka karena kegadisan mereka direnggut secara paksa oleh tentara-tentara Jepang, lalu mereka dijadikan budak nafsu tanpa bayaran. Mereka tidak berani menceritakan pengalaman pahitnya karena masyarakat menganggap kejadian yang menimpa mereka adalah aib yang harus disembunyikan. Sementara pemerintah Indonesia sendiri segan mengakui bahwa ada perempuan - perempuan korban perbudakan seks tentara Jepang. Hal ini bisa kita lihat dalam buku sejarah Indonesia yang menceritakan sejarah pendudukan Jepang di Indonesia tidak menyinggung sedikit pun tentang kejahatan perbudakan seks tentara Jepang ini. Umumnya dalam buku sejarah hanya diceritakan tentang romusha ( sistem kerja paksa ). Lepa Mladjenovic, seorang ahli traumatik, menyatakan bahwa trauma yang diakibatkan oleh sistem perbudakan seksual di masa perang Pasifik bersifat permanen dan seumur hidup. Permintaan maaf secara tulus akan mengurangi derita psikologis para korban, tetapi tak mampu menghilangkannya.

Setelah terkubur selama 50 tahun, kejahatan tentara Jepang di berbagai wilayah yang didudukinya, akhirnya, terkuak juga. Delapan tahun lalu, tepatnya 1992, kejahatan tentara pendudukan Jepang yang dilakukan tahun 1942 di paparkan kepada masyarakat dunia. Yang memaparkan, tidak lain para korban kejahatan, semuanya perempuan, yang kini mulai renta. Menyeruaknya pengalaman yang menyedihkan itu berawal dari seorang perempuan Korea yang membuka kisah kehidupannya, dan menuntut keadilan. Sejak itulah kebisuan terpecahkan. Kesaksian demi kesaksian disampaikan para perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia dan negara lain, seperti Korea, Philipina, Taiwan. Hingga, ahirnya, para Jugun Ianfu itu didampingi sejumlah gerakan pembela keadilan (salah satunya adalah LBH) dan gerakan perempuan menuntut keadilan. Kejahatan berbentuk ‘Perbudakan Seksual’ terhadap kaum perempuan itu, ternyata, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga negara Asia lainnya. Salah satu cara tentara jepang melakukan kejahatan seksual tersebut dengan membangun camp atau bangunan yang disebutnya sebagai Comfort Station, tempat penghiburan bagi para tentara Jepang. Lalu mereka mengampil secara paksa, menculik atau menipu perempuan-perempuan di wilayah jajahannya untuk dimasukkan ke dalam comfort station, kemudian memperkosanya. Mereka juga memberi nama pada perempuan-perempuan itu dengan nama Jepang seperti Momito, Momeye dan lain sebagainya.

Dalam pelajaran sejarah tentang penjajahan Jepang, orang hanya diberi pemahaman, penjajahan Jepang selama 3,5 tahun melakukan kekejaman sangat dasyat. Penderitaan yang dialami rakyat berlipat kali sakitnya, melebihi penjajahan dari bangsa Belanda selama 3,5 abad. Guru sejarah hanya menceritakan penderitaan orang-orang yang mengalami kerja paksa atau Romusya tanpa satupun membahas tentang Jugun Ianfu. Kejahatan terhadap Jugun Ianfu adalah kejahatan kemanusian. Kejahatan yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis oleh tentara Jepang. Yaitu untuk menyerang secara tidak manusiawi masyarakat sipil dengan memperkosa para Jugun Ianfu, yang berarti merampas kemerdekaan, kebebasan, kesehatan dan martabat. Kejahatan semacam ini harus dituntut secara hukum.

Setelah delapan tahun berjuang menuntut keadilan, akhirnya, tahun 2000 Gerakan Perempuan di Jepang merasa tergerak membantu korban jugun ianfu. Mereka menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional yang disebut International Tribunal Court di Tokyo. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama LBH APIK dan LBH Jakarta, bersama-sama dengan negara-negara korban lainnya seperti Philipina, Korea dan Taiwan, mengajukan surat dakwaan, berikut bukti-bukti dan kesaksian atas kejahatan tentara Jepang tersebut. Juga menuntut Pemerintah Jepang mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada korban dan memberikan ganti rugi, reparasi serta kompensasi.

Pada suatu kampanye yang dilaksanakan pada tanggal 10 November 2006 lalu, diadakan pemutaran film dan diskusi yang bertema ‘Jugun Ianfu: Sejarah Perbudakan Seksual Jaman Jepang Yang Terlupakan’. Kampanye yang mengangkat masalah ini yang bertujuan untuk memperjuangkan hak para jugun ianfu, dipelopori oleh suatu jaringan advokasi Jugun Ianfu Indonesia yang terdiri dari berbagai lembaga non pemerintah, seperti Koalisi Perempuan Indonesia untuk Demokrasi, Komnas HAM, dan Lembaga Bantuan Hukum.[4] Dalam perang dunia ke II, sekitar 200.000 perempuan Asia dipaksa menjadi budak seks tentara kerajaan Jepang untuk memenuhi kebutuhan seks para seradunya. Ibu Mardiyem adalah salah satu perempuan Indonesia yang pernah menjadi jugun ianfu.

Ibu Mardiyem

Pada Desember tahun 2001 di Den Haag Negeri Belanda, Peradilan Internasional, ICC, memutuskan agar pemerintah Jepang meminta maaf dan memberi ganti rugi kepada para perempuan yang dipaksa menjadi budak seks semasa perang dunia II. Tribunal Internasional Kejahatan Perang Terhadap Perempuan juga menyatakan bahwa Kaisar Jepang Hirohito dan pejabat-pejabat senior Jepang lainnya pada waktu itu bersalah melakukan kejahatan perang.


Mereka adalah pahlawan

Peradilan yang didirikan oleh koalisi kelompok-kelompok perempuan dan aktivis HAM ini merupakan lanjutan peradilan di Tokyo satu tahun sebelumnya, di mana pada waktu itu didengar kesaksian-kesaksian dari para eks jugun ianfu. Tetapi keputusan tribunal tidaklah mengikat, dan lebih bersifat seruan moral belaka. Saat ini, lima tahun sudah berlalu tapi belum tampak kemajuan yang berarti. Generasi muda tidak mengetahui sejarah jugun ianfu. Karena itulah sejarah jugun ianfu tersebut harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia. Para perempuan eks jugun ianfu tidak layak disebut perempuan bernasib sial ataupun pembawa aib. Tetapi patut disebut sebagai pahlawan.

Para perempuan jugun ianfu saat ini telah memasuki usia senja. Bahkan banyak yang telah tutup usia. Ibu Mardiyem yang diberi nama Momoye oleh tentara Jepang, walaupun sudah memasuki usia senja masih gigih memperjuangkan hak-hak para eks jugun ianfu. Ibu Mardiyem berkata: "Sebetulnya saya tahun 1959 itu sudah mulai berontak, ya. Tapi pada siapa saya ini mencari keadilan mau ngadu pada siapa? Saya nggak pernah nganggur untuk kesibukan supaya nggak terlalu ingat masa lalu. Setelah 1993 ada pengacara Jepang di Jakarta, 13 orang mendaftar. Belum ada reaksi dari pemerintah. Setelah ada pengumuman saya baca, langsung ke LBH. LBH saja belum siap. Jadi yang pertama ke LBH itu saya".[5]

Sejumlah LSM perempuan di Jepang yang bersimpati pada perjuangan jugun ianfu mengundang ibu Mardiyem ke Jepang bahkan ke negara-negara asing lainnya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada masa lalu. Yang terpenting bagi ibu Mardiyem dan para perempuan jugun ianfu bukan saja masalah ganti rugi, tetapi yang terutama adalah pengakuan salah dan permintaan maaf. Beserta para eks jugun ianfu, ibu Mardiyem tidak saja menghadapi lembaga formal seperti pemerintah Jepang dan Indonesia dalam menuntut keadilan dan pengakuan, tapi mereka juga harus menghadapi tatapan sinis, sindiran, dan perlakuan masyarakat yang menghakimi.

Salah seorang mantan jugun ianfu, Eha[6] yang kini berusia 65 tahun, mengatakan bahwa selama penjajahan Jepang dirinya terus mendapat siksaan dan harus melayani nafsu birahi serdadu Jepang. Penderitaannya justru semakin bertambah setelah Indonesia merdeka. Dan selama ini para korban kejahatan “seksualitas” serdadu Jepang belum mendapatkan perhatian sama sekali. Mantan jugun ianfu lainnya, Solehah, mengatakan, untuk bisa bertahan hidup sekarang, mereka tinggal di kampung-kampung dan bertani. “Selain itu, kami pun mendirikan lingkung seni tradisional, seperti seni angklung buncis, reog maupun kuda lumping”.[7] Dalam aksi protes yang dilaksanakan pada 8 Maret 2005 di Bandung, yang dihadiri puluhan mantan jugun ianfu, meminta pemerintah agar segera menyelesaikan masalah jugun ianfu, menghentikan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, perdagangan anak dan perempuan, serta tolak diskriminasi upah terhadap buruh perempuan. Aksi para wanita berusia lanjut itu digelar untuk memperingati Hari Perempuan se-Dunia.
Kesaksian Mardiyem, Emah, dan Suhanah (Suhanah yang akhirnya meninggal karena stress) merupakan catatan hitam dalam sejarah perempuan Indonesia. Terutama dalam periode 1942 sampai 1945 saat tentara Jepang menduduki Indonesia. Pada saat itu sejumlah perempuan Indonesia, banyak di antara mereka masih anak-anak, dipaksa menjadi ”wanita penghibur” atau jugun ianfu. Jika pemerintah Korea Selatan dinilai proaktif membantu para mantan jugun ianfu di negara mereka, para pejuang nasib mantan jugun ianfu di Indonesia justru menilai pemerintah Indonesia terkesan tidak peduli pada nasib mantan jugun ianfu di Indonesia. Padahal akibat dari peristiwa itu, mantan jugun ianfu tidak diterima oleh lingkungannya. Mereka dianggap pelacur yang menjijikan.


Akhiran:Menanti sebuah Resolusi

Mengapa masalah ini diajukan pada pengadilan rakyat, bukan pada pengadilan Internasional yang telah melembaga dan diakui dunia? Ada pertimbangan, sebagian dari mereka di dunia internasional, sebagian besar laki-laki, tidak peduli terhadap penderitaan perempuan. Tidak menerima masalah jugun ianfu sebagai suatu kejahatan. Artinya, Pengadilan Internasional sama sekali tidak memberikan keadilan bagi perempuan. Mungkin kita masih bertanya-tanya, mengapa masih tetap dipermasalahkan dan diperjuangkan, kejahatan telah terkubur sekian lama itu. Jawabnya, mengungkap lembar hitam ataupun misteri dari sejarah merupakan hal sangat penting. Sebab dari situlah kita akan mendapatkan pelajaran tentang kebaikan, keburukan dan penghargaan terhadap kehidupan manusia, sehingga kita tidak akan lagi mengulang kesalahan sama dimasa mendatang.

Perang telah usai dan masa lalu itu sebagian dikubur dalam dalam dan sebagian lagi tersisa dalam ingatan janda-janda, veteran, bekas romusha, jugun ianfu. Perlukah kita mengingatnya kembali: merasakan kembali episode penting bagi diri sendiri dan memindainya serta menyiarkannya ke seluruh penjuru dunia. Apakah masyarakat kita mampu mengelola trauma perang itu untuk dirinya. Siapakah yang paling menderita dan terjerat trauma perang di negeri ini? Apakah betul para pemimpin politik kita mampu merasakan trauma rakyatnya? Dan sederet pertanyaan masih bisa ditampilkan. Trauma budaya cukup laten di masyarakat kita dan belum dikelola dengan baik. Yang mengkhawatirkan, bangsa Indonesia tidak mampu mengelola trauma itu untuk kepentingan dan kemajuannya sendiri. Padahal pada konteks tersebut kita bisa melihat berbagai pengalaman rakyat Indonesia pada masa penjajahan Jepang melalui teks memoar dan teks imajinatif. Akhir kata, kolonialisme, bagaimanapun bentuknya dan dengan alasan apapun, tetap saja membawa penderitaan bagi daerah atau negara yang dijajahnya. “Rasa sakit” yang akan terus membekas, tak hanya di dalam diri korban-korbannya sendiri, namun bahkan mempunyai dampak tersendiri di setiap sisi kehidupan manusia.
Saat ini, meskipun telah enam tahun berselang sejak Tribunal Tokyo dan Tribunal Den Haaq digelar, pemerintah Jepang tidak juga bergeming bahkan tidak segera memenuhi tuntutan pengadilan ini. Namun kita sebagai bagian dari masyarakat dunia yang menginginkan penegakan Hak Asasi Manusia telah berhasil mendobrak kebisuan masalah Jugun Ianfu Asia, dan mengungkap kebenaran atas penderitaan Jugun Ianfu Asia, serta mengumandangkan ke seluruh dunia bahwa Negara Jepang merupakan pelaku kejahatan perang atas persoalan Jugun Ianfu Asia.

Pengadilan rakyat ini hanyalah salah satu cara untuk menggapai keadilan Jugun Ianfu Asia yang masih hidup dan usaha masayarakat dunia yang pro-demokrasi untuk mematahkan rantai impunitas para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Meskipun perjalanan menegakan Hak Asasi Manusia untuk para Jugun Ianfu Asia masih panjang, namun ini upaya kita untuk seluruh perempuan di seluruh dunia untuk menjadi bagian dari masyarakat dunia yang bermartabat.




Top of Form

[1] Surat terbuka Kim Hak Soon tertanggal 4 September 1996, Soon adalah Jugun Ianfu pertama dari Negara Korea yang memberikan kesaksiannya di forum terbuka sebagai budak seks militer Jepang, telah meninggal dunia 1997. Dikutip dari sebuah artikel yang berjudul Jugun Ianfu: Kejahatan Perang Asia Pasifik yang Belum Terselesaikan

[2] Dikutip dari sebuah artikel yang berjudul Trauma Kultural, Diseminasi Naratif, dan Rekonstruksi Makna Oleh T. Christomy. Di download pada 3 januari 2008. URL http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/20/khazanah/lain02.htm
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Jugun_ianfu
[4] Dikutip dari artikel yang berjudul Jugun Ianfu, didownload pada 1 Januari 2008. URL http://www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108/jugun_ianfu061205

[5] http://www.ranesi.nl/tema/suara_perempuan070108/jugun_ianfu061205
[6] http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/09/0309.htm
[7] Ibid.

Tidak ada komentar: