GADIS PANTAI
Gadis yang Merangkak diantara Feodalisme Jawa
“ Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini… Ah tidak, aku tidak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.”
(Pramoedya Ananta Toer)
1. Pendahuluan
Sejak persentuhan pertama bangsa Belanda dengan lingkungan alamiah, sosial dan budaya Indonesia, ketika kolonialisme Belanda di Indonesia dimulai sekitar pertengahan pertama abad 18, Belanda telah menciptakan berbagai bentuk karya sastra dalam bentuk tulisan mengenai lingkungan-lingkungan Indonesia tersebut. Menurut Nieuwenhuys[1], tulisan-tulisan demikian dapat dikategorikan ke dalam karya-karya sastra dalam pengertian yang sangat luas karena meliputi tidak hanya puisi, novella, novel melainkan juga cerita-cerita perjalanan, tulisan-tulisan tentang masyarakat, flora dan fauna Indonesia yang disertai tanggapan-tanggapan subjektif dari pada kolonialis itu.
Karya-karya sastra yang dihasilkan tersebut memperlihatkan setidaknya empat perspektif dalam memandang dan mengambil sikap terhadap berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Keempat perspektif yang sebenarnya muncul secara hamper gradual itu adalah (a) penempatan orang-orang setempat sebagai bagian dari dunia lain yang aneh, yang bermusuhan, berbahaya, penuh ancaman, tetapi sekaligus menimbulkan rasa keingintahuan bagi para kolonialis; (b) penempatan orang-orang setempat sebagai sesuatu yang berharga untuk diketahui lebih jauh; (c) sikap kritis atau penghargaan terhadap masyarakat dan kebudayaan colonial yang terbentuk dalam lingkungan kolonialis sendiri; dan (d) pembelaan dan usaha perlindungan terhadap kepentingan masyarakat setempat di hadapan tata ekonomi colonial yang eksploitatif, tata kemasyarakatan yang rasialis, dan tata politik yang otoriter dan berpihak pada kepentingan negeri induk, khususnya kapitalis Belanda.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo[2], apapun bentuk dan perspektif yang digunakan didalam tulisan-tulisan tersebut, masyarakat dan kebudayaan setempat (Indonesia) cenderung ditempatkan sekedar sebagai latar belakang bagi petualangan dan pengalaman dari para kolonialis itu di negeri jajahan mereka, yaitu Indonesia. Penduduk setempat hanya tampil sebagai gundik, sebagai babu, atau sebagai maling di hadapan mereka. Sebuah novel karya Multatuli, yang berjudul “Saijah dan Adinda”, menjadi sebuah jalan bagi karya sastra pada masa itu untuk menemukan, mengenali dan sekaligus mengakui keberadaan masyarakat setempat sebagai mahluk yang otonom. Karena didalam novel karya Multatuli tersebut tersedia sebuah ruang (sepanjang satu bab penuh) bagi kehadiran penduduk setempat sebagai tokoh utama cerita yang mandiri.
Menurut Subagio Sastrowardoyo[3], episode “Saijah dan Adinda” dapat digolongkan ke dalam ragam “cerita desa” karena episode itu menuturkan kisah yang mengidealisasikan kehidupan masyarakat pedesaaan yang terletak ditengah-tengah alamraya sebagai kehidupan yang penuh dengan harmoni, dengan cinta yang suci, tetapi yang kemudian dirusakkan oleh persentuhan dari manusia-manusia yang hidup di dalamnya dengan kehidupan masyarakat kota. Pola yang khas dari ragam “cerita desa” ini. Dalam lingkungan sastra Hindia Belanda tak hanya Multatuli saja yang menulis tentang ragam cerita desa. Sebelum Multatuli, cerita yang serupa ditemukan dalam sebuah karya tulisan yang berjudul “Soelatrie”, yang terdapat dalam Tafereelen van javaansche (Gambaran Adat-Istiadat Jawa), buku kumpulan C.S.W. van Hogendorp pada tahun 1937 dan juga sebuah karya karangan W.I. Ritter yang berjudul Kazat en Ariza, dalam kumpulan karangannya yang berjudul Nieuwe Indische verhalen en Herinneringen uit vroegeren en latteren tijd (Cerita dan Karangan Baru Tentang Hindia Belanda Zaman Dahulu dan Kemudian) yang terbit pada tahun 1954.[4] Menurut Subagio, popularitas ragam cerita desa itu terkait dengan popularitas suasana romantic di Eropa pada zaman itu. Menurutnya, karya sastra yang amat popular yang juga termasuk dalam ragam cerita desa seperti itu di Prancis adalah Paul et Virginie.
2.Cerita Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer lahir pada tahun 1925 di Blora Jawa Tengah. Ia merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang hamper separuh hidupnya dihabiskan didalam penjara; tiga tahun dalam penjara colonial, satu tahun di masa Orde Lama, dan 14 tahun pada masa Orde Baru tanpa proses pengadilan. Dalam masa-masa hidupnya di dalam bui, Pramoedyamenghasilkan beberapa karya, diantaranya adalah Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Setiap kali membaca tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer, kita pasti selalu merasa kagum. Di setiap lembaran kita menemukan sesuatu. Bukan hanya bahasa saja yang menarik tetapi juga idealisme. Karya-karyanya terlalu banyak melontarkan humanisme. Pramoedya mengaku tema seperti itu dalam sebahagian besar tulisannya banyak dipengaruhi oleh Multatuli, pengarang Max Havelaar yang mengatakan bahawa tugas manusia adalah menjadi manusia. Beliau juga belajar tentang humanisme daripada karya-karya John Steinbeck dan menelusuri ideologi daripada penulis agung Rusia, Mar Xim Gorky.
Melalui watak-watak tertentu, yang pastinya perwatakan dari golongan kelas bawah, Pramodya mewujudkan watak hero yang menentang berbagai situasi yang tidak manusiawi. Antaranya feodalisme priyayi Jawa, kolonialisme dan imperialisme. Watak-watak hero itu akan mengkritik, membidas dan mengutarakan pandangan-pandangan tertentu yang mewakili golongan masyarakat bawahan di Jawa. Pandangan tidak manusiawinya feodalisme Jawa dikritik dengan begitu luas oleh Pramoedya terutama dalam Gadis Pantai. Ia mengangkat kisah betapa rendahnya seorang rakyat kecil hanya sama dengan sebilah keris pembesar. Kritikan tentang feudalisme juga dapat dibaca dengan terperinci dalam tetralogi Bumi Manusia, yaitu melalui watak Minke, anak Bupati yang mendapat pendidikan Eropah (Belanda). Beliau melukiskan watak Minke yang merasa terhina sekali waktu bertemu ayahnya; ‘harus merangkak, berengsot seperti siput dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali, buta huruf pula’!
Kolonialisme juga tidak manusiawi karena di samping sistem itu sendiri menindas dan memeras, ia membentuk orang semacam Sa’aman (dalam Cerita Dari Blora), yang akibat penganiayaan kolonial akhirnya dikuasai dendam sehingga menjadi jahat. Kolonialisme jugalah yang melahirkan pegawai yang mencuri harta negara (dalam novel Korupsi) dan pasukan keselamatan pribumi yang mengawal dan menyekat kebebasan Minke dan gerakan kebangsaan (dalam Rumah Kaca). Di sisi lain, Pramoedya membawa satu aliran baru dalam penulisan sastera dan kesenian Indonesia serta Nusantara iaitu realisme sosialis (selepas menterjemah karya Ibunda oleh Marxim Gorky).
Dalam tulisannya bertajuk Realisme-Sosialis dan Sastra Indonesia di Universiti Indonesia pada 1963, beliau menuliskan pendekatan realisme-sosialis dan menolak aliran humanisme universal yang menjadi ‘anutan’ sebagian besar penulis-penulis Balai Pustaka. Di mata Pramoedya, humanisme universal adalah humanisme individualis-borjuis yang melemahkan cita-cita revolusi kerana membawakan pesimisme dan negativisme. Sekaligus merupakan cerminan bagi suara kapitalis Barat yang kehilangan tanah jajahan. Sementara itu, realisme-sosialis pula bersifat optimistik dan menentang kapitalisme serta imperialisme.
Sesungguhnya, Pramoedya sangat mengagumi Gorky dan menganggap kata-kata beliau ‘sekiranya musuh tidak mahu menyerah, kita mesti memusnahkan mereka’ sangat sesuai dalam konteks Indonesia ketika itu. Radikalisme itulah yang menjadi gaya yang diterapkan ketika menjadi pemimpin redaksi Lentera yaitu majalah milik Parti Komunis Indonesia (PKI). Di Lentera, Pramoedya menyatakan supaya penulis yang tidak memihak kepada aliran realisme sosialis ‘disingkirkan’ dan ‘tidak perlu diberikan ruang walaupun sekecil-kecil’. Alasannya, Presiden Indonesia ketika itu Soekarno sedang terancam dan negara dalam bahaya. Oleh sebab itu, seni yang tidak menyokong revolusi harus diketepikan. Di samping itu, Pramoedya juga menyebutkan alasan peribadi: waktu berada dalam Lentera, beliau sangat marah pada tentara dan pihak yang diperalat (peristiwa pemukulannya oleh tentara menyebabkan kerusakan pendengaran hingga ke akhir hayat merupakan dendam terbesar kepada angkatan itu).
Namun, aspek yang paling menarik di sekitar kepengarangan Pramoedya ialah pertemuan antara realisme sosialis dan humanisme universal. Ia seolah-olah menghidupkan kembali perdebatan kedua-dua aliran itu yang bermula di Eropah sejak awal 1900. Dari sudut sejarahnya, Gorky menggariskan realisme sosialis sebagai sebahagian daripada pandangan tentang emansipasi manusia, iaitu komunisme. Dalam komunisme, penganut ideologi itu berpendapat, kemerdekaan dan kebebasan hari ini harus ditunda dan dikorbankan demi kemerdekaan bersama hari depan.
Dalam sudut ideologisnya, Pramoedya juga sangat mengagumi Andrei Zhdanov, sseorang pemikir dan penganut realisme sosialis. Tokoh itu menegaskan sastra harus melukiskan kenyataan sejarah dalam perkembangan revolusionernya demi membentuk ideologi dan semangat sosialisme kaum buruh. Sebenarnya penilaian negatif terhadap seni modern sudah muncul sebelum Zhdanov, yaitu George Lukacs.
Pandangan Pramoedya dalam tetralogi Bumi Manusia masih menunjukkan optimisme khas abad ke-19 bahwa ilmu modern dari Eropa, seperti yang dipelajari Minke, merupakan sarana pencerahan dan membawa kemajuan bagi kemanusiaan. Namun, Pramoedya merumuskan bahawa pembelaan terhadap humanisme tidak boleh diukur dari realisme atau modernitas suatu karya. Sebuah karya realisme boleh saja bersifat humanism tetapi juga boleh menjadi sebuah tulisan yang anti-kemanusiaan.
Penjara tidak membuatnya berhenti untuk menulis, karena baginya menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dibuang dan dibakar. Dari pemikiran dan tangan dinginnya, ia berhasil melahirkan lebih dari 50 karya sastra dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di ranah sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugrahi berbagai penghargaan internasional, diantaranya adalah: the PEN Freedom-to-write Award pada tahun 1988, Ramon Magsaysay Award pada tahun 1995, Fukuoka Cultur Grand Price, Jepang pada tahun 2000 dan pada tahun 2004 mendapatkan penghargaan The Norwegian Authours Union dan Pablo Nuruda dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo Lagos Escobar. Sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat Pemenang Nobel Sastra.
Gadis Pantai, salah satu hasil karya Pramoedya, adalah roman yang tidak terselesaikan. Sebenarnya roman ini adalah merupakan trilogy, namun 2 buku lanjutan Gadis Pantai dimusnahkan oleh kekejaman kekuasaan. Mungkin roman Gadis Pantai ini tidak akan pernah ada jika pihak dari Universitas Canberra Australia (ANU) di Canberra tidak mendokumentasikannya. Melalui Savitri P. Scherer, mahasiswi yang mengambil tesis mengenai seputar proses penulisan karya sastra Pramoedya di tengah gejolak budaya dan kuasa, mengirimkannya kepada sang pengarang Pramodya Ananta Toer. Sehingga roman ini dapat ditampilkan kemuka dunia sastra sebagai refleksi diri bangsai Indonesia pasca kolonialisme.
3. Sinopsis
Inilah potret nasib buruk kaum perempuan desa di bawah feodalisme Jawa selama beberapa abad bahkan sampai abad 20. Tokoh utamanya hanya disebut Gadis pantai, walau tanpa nama dia mewakili segolongan kaum wanita dari keluarga desa yang miskin dan tidak berpendidikan. Settingnya adalah kabupaten Rembang di pantai utara Jawa pada awal abad 20.
Suatu hari dia dikawini oleh seorang pribumi pejabat pemerintah kolonial yang tidak dia kenal. Apa yang dia tahu hanyalah dia harus taat dan hormat pada suaminya yang dipanggil bendoro (sebutan kehormatan untuk kaum feodal Jawa). Sampai menikah dan punya anakpun dia tidak memiliki hubungan hati ke hati dengan suaminya. Tidak ada hubungan manusiawi. Di rumah tempat tinggalnya ada bagian di mana dia tidak pernah menginjakkan kaki, bahkan masih ada ruangan yang baginya tetap asing selamanya. Di rumah kabupaten itu ada beberapa anak yang tidak ada ibunya karena mereka sudah dicerai sedangkan anak anak itu diasuh pembantu.
Suatu hari datang Mardinah, seorang pelayan baru. Dia anak seorang jurutulis dari kota. Sikapnya berani kepada Gadis pantai. Belakangan terungkap bahwa dia diutus bendoro putri bupati demak untuk mengupayakan agar anak bendoro putri bisa dikawini oleh suami Gadis pantai. Mardinah diberi janji apabila berhasil maka dia akan diambil jadi istri kelima. Secara ekonomi dan sosial memang gadis pantai mengalami kemajuan. Dia naik kelas sosial dan ekonomi. Ketika dia diberi iji pulang ke desanya untuk menegok orang tuanya, orang se desa menyambut meriah dan memperlakukannya dengan istimewa. Dia biayai pesta dan dia beri kain kepada tetua kampung.
Suatu saat Gadis pantai hamil dan beberapa bulan kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Jenis kelamin perempuan ini membuat suaminya kecewa. Tidak lama kemudian orang tua Gadis pantai datang menjenguk anak cucunya. Bendoro memanggil bapak Gadis pantai ke dalam rumah. Ketika keluar wajahnya sudah suram karena Gadis pantai sudah dicerai ! Bendoro memberi uang dan dia harus membawa Gadis pantai meninggalkan rumah bendoro segera, sedangkan bayinya harus ditinggal dan akan di asuh pembantu. Sampai di rumah Gadis pantai tidak mau tinggal. Dia memilih pergi. Selama sebulan dia masih sering lewat depan rumah bendoro, tapi setelah itu tidak lagi.
Roman yang menjadi sekuel pertama dari trilogi roman keluarga ini adalah roman yang indah dan mempesona. Pramodya berhasil membongkar dan menunjukkan kontradiksi negative praktik feodalisme Jawa yang tidak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Tentu saja, roman ini berhasil menusuk feodalisme Jawa tepat di jantungnya.
4. Analisis
Ada beberapa gejala tekstual yang memperlihatkan adanya persamaan atau kedekatan antara Gadis Pantai dengan beberapa karya Pramoedya yang lainnya. Yaitu : satu, novel ini menceritakan kisah tragis seorang gadis belia keturunan pribumi di masa kolonialis Belanda. Kedua, novel ini menceritakan hubungan birokrasi kolonial Belanda di Indonesia, khususnya Jawa. Ketiga, menceritakan feodalisme Jawa. Gadis Pantai yang merupakan judul pertama dari trilogi yang dibuat oleh Pramoedya. Merupakan novel yang tak terselesaikan.
Novel ini akan dianalisis berdasarkan struktur naratif, ruang dan waktu, ras dan tubuh serta relasi gender yang ada dan terdapat di dalamnya.
4.1 Struktur naratif
Cerita dalam novel Gadis Pantai ini ditulis dengan teknik naratif “orang ketiga mahatahu”. Karena dalam novel tersebut narator berada di luar cerita, tetapi mengetahui hampir semua hal mengenai pikiran, perasaan, perbuatan tokoh-tokoh cerita dan juga lingkungan yang ada disekitarnya, yang bahkan mungkin tidak diketahui oleh tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Karena tidak terikat sebagai salah satu tokoh cerita, narator bisa bergerak bebas dalam menulis jalan ceritanya, bebas memindahkan perhatiannya dari satu tokoh ke tokoh yang lain, dari satu tempat dan waktu ke tempat dan waktu yang lain, juga dari satu permasalahan ke permasalahan yang lain.
Struktur naratif Gadis Pantai bukan tergolong “Cerita Berangkai”, karena dalam novel karya Pramoedya tersebut hanya satu narator saja. Dengan demikian hanya ada satu otoritas di dalamnya yang dapat menentukan keberadaan dan kebenaran dari tokoh-tokoh, keadaan, dan peristiwa di dalam cerita. Cara narator dalam menyampaikan cerita tersebut, pembaca dapat mendasarkan diri dalam menentuan apa yang ingin disampaikan oleh novel yang dibacanya, sehingga pembaca bisa memberikan komentar-komentar dan penilaian-penilaian terhadap novel tersebut.
Cerita Gadis Pantai diawali dengan gambaran tentang sosok Gadis Pantai yang keseharian hidupnya diisi dengan derai ombak dan pemandangan perahu-perahu di laut yang berangkat di pagi buta dan pulang di kala hari mulai senja. Gadis Pantai digambarkan sebagai seorang gadis belia yang baru berusia 14 tahun. Karena naratornya adalah “orang yang mahatahu” yang dapat bergerak bebas dari cerita, ia dapat menempatkan diri dekat atau pun jauh dari objek yang digambarkannya itu. Dengan kemungkinan yang fleksibel itulah ia melukiskan sosok Gadis Pantai. Seperti yang terungkap dalam kutipan berikut, menurut narator, dengan tubuh yang dimiliki Gadis Pantai, ia layak menjadi bunga desa.
“ Empat belas tahun umurnya pada waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia kembang kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.”
(Pramoedya, 2007:11)
Kemudian cerita bergeser, Gadis Pantai dinikahkan dengan seorang Bendoro, Pembesar Jawa (priyayi) yang bekerja di kantor administrasi Belanda, seorang pria yang belum pernah ia kenali dan bahkan ia pun belum pernah bertatap wajah dengan Bendoro tersebut. Ia dinikahkan hanya dengan sebilah keris sebagai perwakilan dari sang Bendoro. Pernikahan yang dianggap dapat mengkangkat derajatnya yang berasal dari kampung nelayan yang miskin.
“Sst. Jangan nangis. Jangan nangis. Hari ini kau menjadi istri pembesar …. Stt. Jangan nangis. Mulai hari ini kau tinggal di gedung besar nak. Tidak lagi di gubuk. Kau tak lagi buang air di pantai. Kau tak lagi menjahit layar dan jala, tapi sutera, nak. Sst, ssst. Jangan nangis… Sst. Jangan nangis, nak. Hari ini kau jadi istri orang kaya.”
(Pramoedya, 2007:12)
Ketika sampai dirumah Bendoro, rumah megah ala Eropa, mereka masih kebingungan dengan sosok sang Bendoro. Narator menggambarkan penampilan pertama Bendoro tersebut hanya dengan suara dan deritan selop yang selalu dikenakannya, tanpa menggambarkan wujud fisik dan nama aslinya, sehingga tokoh tersebut tersesan sebagai sosok yang misterius, menyembunyikan rahasia yang belum diketahui bahkan oleh naratornya sendiri.
“ semua tegang menegakkan tubuh. Pendengaran tertuju pada sepasang selop yang berbunyi berat sayup terseret-seret dilantai. Bunyi kian mendekat dan akhirnya nyata terdengar: buuutt.”
(Pramoedya, 2007:21)
Terdengar bunyi selop berhenti, kemudian, ‘Mengapa aku tak dibangunkan? Suruh ke sini kepala kampung itu!’.”
(Pramoedya, 2007: 22)
Cerita pun mulai berkembang jauh, narator melihat Bendoro dari dekat. Narator mulai menggambarkan bagaimana wujud sang Bendoro itu.
“…. Nampak seorang pria bertubuh tinggi kuning langsat berwajah agak tipis dan berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan berbaju teluk belanga dari sutera dan bersarung bugis hitam dengan beberapa genggang putih tipis-tipis…”
(Pramoedya, 2007:31)
Sisi religi juga digambarkan oleh narator. Bagaimana agama dijadikan panutan. Bagaimana agama begitu asing ditelinga, dimata bahkan dihati rakyat jelata. Hanya orang-orang yang memiliki darah biru saja yang berhak untuk mempelajari agama. Orang yang memiliki pengetahuan agama lebih tinggi derajatnya, mereka disebut priyayi.
“ Bujang itu kemudian mengajarinya mengambil air wudu. ‘Air suci selelum sembahyang, Mas Nganten.’ ‘apakah mandi dengan air sebanyak itu kurang bersih?’ tanyanya. ‘Selamanya memang begini, Mas Nganten.’ Untuk pertama kali dalam hidupnya Gadis Pantai bersuci diri dengan air wudu dan dengan sendirinya bersiap untuk bersembahyang.”
(Pramoedya, 2007:34)
Cerita pun berlanjut, narator membuka tabir diantara Bendoro dan rakyat dari kampung nelayan yang miskin. Narator memberikan kritikan terhadap kesenjangan yang terjadi diantara mereka. Kritikan terhadap anggapan bahwa orang priyayi adalah orang-orang suci yang dekat dengan Tuhan, sedangkan orang miskin adalah orang-orang hina yang dikutuk-Nya. Narator juga menggambarkan perbedaan dalam strata sosial, terutama dalam pangan dan makan. Perbedaan yang sangat mencolok sekali. Orang yang berderajat tinggi seperti Bendoro mengikuti pola makan orang Eropa. Cara makan pun mereka meniru gaya Eropa yang mereka anggap sebagai manusia berderajat tinggi. Terlihat sekali kesenjangan diantara orang yang berderajat dengan orang rendahan. Menggunakan sedok-garpu bahkan duduk dimeja makan sebagai tanda mereka adalah orang berkelas. Sungguh, budaya Eropa sudah merangsek masuk ke dalam jiwa masing-masing orang Jawa yang berderajat. Orang rendahan, jangankan roti ataupun bubur havermouth, bisa melihat nasi saja ibaratkan melihat segepok emas. Tak luput pula narator mulai menceritakan perwatakan dari pada sang Bendoro.
“Tak perlulah kalau kau tak suka. Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai sini. Sama saja. sepuluh tahun yang lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rejeki mereka tidak lancar, mereka miskin.”
(Pramoedya, 2007:41)
“kau tinggalkan rumah ini! Bawa seluruh perhiasan dan pakaian. Semua yang telah kuberikan kepadamu. Bapakmu sudah kuberikan uang kerugian, cukup buat membeli dua perahu sekaligus dengan segala perlengkapannya. Kau sendiri, ini…,” Bendoro mengulurkan kantong berat berisikan mata uang… pesangon. “Carilah suami yang baik, dan lupakan segala dari gedung ini. Lupakan aku, ngerti?”
(pramoedya, 2007:257)
Dengan peralihan posisi dan jarak di atas, narator dapat memperlihatkan kepada pihak mana, kepada tokoh-tokoh yang mana, ia berpihak, berseimpati dan kepada pihak mana, tokoh-tokoh yang mana ia bersikap anti pati. Dalam novel ini jelas, narator berpihak dan bersimpati kepada Gadis Pantai. Selain itu juga narator menunjukkan simpatinya kepada orang tua Gadis Pantai, si Dul, kusir dokar sewaan (man), penduduk kampung nelayan yang miskin dan juga seorang bujang wanita yang membantu Gadis Pantai ketika mengawali kehidupannya sebagai Mas Nganten. Perasaan anti pati narator ditunjukkan terutama kepada Bendoro, para bagus, mandor, kompeni, Bendoro Demak, Mardikun (mak Pin), dan Mardinah. Bendoro adalah seorang priyayi yang bekerja kepada Belanda. Ia sangat kaya raya dan memiliki pengetahuan agama yang cukup tinggi, sudah berhaji dua kali. Bendoro dikatakan masih bujang karena belum menikahi perempuan yang sederajat dengannya, walaupun toh ia telah menikah berkali-kali dengan para perempuan yang disebut Mas Nganten (perempuan yang dijadikan gundik, perempuan yang melayani kebutuhan seks para pembesar sampai kemudian pembesar memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya), seperti halnya Gadis Pantai. Bendoro dengan seenaknya mencampakkan para Mas Nganten tersebut setelah mereka memberikan satu anak kepadanya, merenggut paksa dan memisahkan anak dari ibunya; yang kemudian ia memutuskan untuk menikahi perempuan yang lain lagi. Kehidupan rakyat dalam cengkraman feodalisme Jawa, sehingga merelakan anak gadis mereka yang masih belia dinikahi oleh Bendoro dengan maksud agar dapat menaikkan derajatnya. Sikap dan pandangan feodalisme Jawa yang berakar kuat disanubari Bendoro, dan para Bendoro lainnya, sehingga bersikap seenak perutnya sendiri. Mereka mempunyai hak untuk menindas, menginjak dan meremehkan harkat dan martabat rakyat jelata.
Novel ini nantinya akan menceritakan kehidupan Gadis Pantai ketika ia menjadi Mas Nganten dan hingga akhirnya dicampakkan begitu saja oleh Bendoro setelah ia melahirkan seorang bayi perempuan, kerangka sikap narator diatas sekaligus kerangka sikapnya terhadap feodalisme Jawa yang tergambar pada sosok Bendoro. Sangat jelas sekali, narator berpihak kepada Gadis Pantai sebagai rakyat kecil yang merangkak diantara feodalisme Jawa. Kepasrahan rakyat bawah dalam menerima nasibnya sebagai kutukan Tuhan.
4.2 Struktur ruang dan waktu
Ruang di dalam novel ini antara lain terbagi menjadi perkampungan nelayan, rumah bendoro, jalan, dokar ; kamar, dapur dan tempat pemandian. Sedangkan waktu yang tertuang dalam novel ini adalah subuh, pagi, siang, sore dan malam hari; masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
Novel ini dibuka dengan suasana pantai, tempat dimana Gadis Pantai itu tinggal. Kehidupan yang ia rasa “luar biasa”. Angin dan air laut, deru ombak, perahu-perahu, ikan dan jala-jala yang selalu menghiasi kehidupannya sehari-hari. Hingga suatu ketika, kebahagiaan yang ia rasakan sebagai Gadis Pantai sirna.
“ Hari demi hari batinnya diisi dengan derai ombak dengan pandangannya oleh perahu-perahu yang berangkat di subuh hari pulang di siang atau sore hari, berlabuh di muara, menurunkan ikan tangkapan dan menunggu besok sampai kantor lelang buka. Ia telah meninggalkan abad Sembilan belas, memasuki abad duapuluh. Angin yang bersuling di puncak pohon-pohon cemara tidak membuat pertumbuhannya lebih baik. Ia tetap kecil mungil bermata jeli. Dan tidak diketahuinya – di antara derai ombak abadi suling angin dan datang-perginya perahu, seseorang telah mencatatnya dalam hatinya.”
(Pramoedya, 2007:11)
Gambaran ruang yang berupa jalan yang menghubungkan kampung nelayan di pesisir pantai, tempat dimana Gadis Pantai berasal, dengan rumah Bendoro yang berada di kota. Perjalanan yang panjang, Gadis Pantai mengiringinya dengan isak tangis tak mengerti. Dengan dua buah dokar dan sanak saudara yang mengantarnya, ia dibawa ke kota, untuk kemudian menjadi istri seorang Pembesar.
“ Iring-iringan hanya terdiri dua dokar “kretek”, emaknya, bapaknya, dua orang pamannya, ia sendiri, beberapa saudaranya, dan lurah kampungnya. Bawaannya beberapa pesalin dan kue-kue buatan kampung nelayan, dan makanan yang diberikan sejak berabad dari laut, berbagai macam ikan dan rumput laut. Bedak tebal pada wajahnya telah berguris-guris mengelimantang oleh airmata. Dan emaknya selalu memperbaikinya.”
(Pramoedya, 2007:12)
Bendoro, yang merupakan seorang feudal Jawa yang bekerja pada Belanda, sangatkah kaya raya. Oleh karena itu ia sangat disegani rakyatnya, terutama masyarakat pesisir pantai. Rumah yang berbeda dengan rumah-rumah kebanyakan orang Jawa, rumah ini kental sekali dengan nuansa Eropa sebagai tanda bahwa ia adalah orang yang berderajat.
“ Bujang itu pergi masuk ke dalam pintu yang menganga dari pagar tembok agak rendah. Barang ke mana mata ditujukan, bila tak keatas, yang nampak hanya warna putih kapur tembok. Sedangkan di samping kanan irirngan pengantin, di gedung utama, membumbung lantai setinggi pinggang, kemudian sebuah pendopo dengan tiga baris tiang putih. Gadis Pantai takkan bisa memeluknya, bapak pun barangkali juga tidak. Tiang-tiang itu lebih besar dari pelukan tangan manusia. Setiap baris terdiri atas enam tiang. Burung gereja kecil-kecil beterbangan bermain-main di antara burung walet. Dan gagak pada pohon-pohon beringin tak henti-hentinya bergaok menyeramkan. ….
Sekarang seorang perempuan tua muncul di pintu, melambaikan tangan dengan sendirinya iringan pengantin menghampiri, kemudian juga memasuki pintu. Mereka mengikutinya berjalan di bawah jendela-jendela besar, melintasi pekarangan dalam yang ditumbuhi pohon-pohon delima serta pagar pohon kingkit. Mereka mendaki lantai, memasuki ruang belakang yang begitu besar, empat kali lebih besar dari seluruh rumah mereka. Sebuah meja setinggi 40 cm berdiri di tengah-tengah ruang. Mereka melaluinya, kemudian masuk ke dalam ruangan yang panjang. Sangking panjangnya ruangan itu sehingga nampak seakan sempit. Beberapa kursi berdiri di dalamnya dan sebuah sofa yang merapat ke dinding. Di penghujung ruangan terdapat kamar dengan pintu yang terbuka lebar. Nampak di dalamnya sebuah ranjang besi berpentol kuning mengkilat, kelambunya menganga berkait pada jangkar-jangkar gading.”
(Pramoedya, 2007:17)
Bangunan yang ada dalam kutipan di atas adalah merupakan rumah tempat tinggal sang Bendoro, sebuah rumah megah ala Eropa, dengan beberapa ornamen yang mengagumkan. Dari lokasi dan aksesoris yang ada di dalamnya, nampak bahwa rumah itu sekaligus memenuhi criteria status sosial yang berlaku dalam masyarakat setempat pada masa itu, menunjukkan kepastian dan ketinggian tempat penghuninya di dalam masyarakat bersangkutan. Hal berbeda dengan kondisi kampung nelayan, tempat dimana Gadis Pantai berasal, yang tergambar dalam kutipan dibawah ini.
“Gadis Pantai tersenyum. Dalam waktu dua tahun lebih tinggal di gedung yang menyebabkan ia terbiasa memandang setiap orang punya tempat buat tinggalnya. Dan ia sudah terbiasa memandang setiap orang tinggal aman bila pintu rumah telah terkunci, tiada orang asing datang mengganggu, mendengus. Di kampung melayan, kampung kelahirannya ini pelan-pelan tapi pasti ia mulai belajar kembali tentang masa silamnya dulu. Ia tersenyum. Ia menyesal telah menjadi begitu pelupa. Di sini tak ada rumah terkunci pintunya, siang ataupun malam. Di sini pintu bukanlah dibuat untuk menolak manusia, tapi menahan angin. Di sini semua orang tidur di ambin di malam atau di siang hari, termasuk para tamu yang tak pernah dipedulikan dari mana datangnya…”
(Pramoedya, 2007:148)
Dari segi struktur atau komposisinya, rumah Bendoro dengan rumah-rumah yang ada di perkampungan nelayang yang miskin, kampung dimana Gadis Pantai berasal, sangatlah jauh berbeda. Rumah Bendoro yang sangat megah, modern dan bergaya Eropa, berbanding terbalik dengan rumah-rumah rakyat miskin yang ada di pesisir pantai itu. Perawatannya pun sangat berbeda. Rakyat nelayan tak perlu susah-susah membersihkan karena memang tak ada aksesoris-aksesoris yang perlu dirawat, artinya, rumah mereka hanya terdapat ambin dan ruang dapur saja, tanpa perabotan. Cermin yang di miliki pun ala kadarnya. Berbeda sekali dengan cermin yang dimiliki Bendoro yang besar, bagus dan berukiran. Rakyat nelayan hanya tidur diatas ambin, sedangkan Bendoro tidur di ranjang besar yang indah, mewah dan empuk, serta lantai kamar tidurnya pun beralaskan permadani yang sangat indah. Di sudut ruangan, di rumah Bendoro, terdapat sofa empuk yang bahkan Gadis Pantai dan emaknya pun belum pernah merasakan duduk disitu.
Dengan kata lain, dalam novel ini rumah dipandang sebagai lambang identitas seseorang yang menjadi pemiliknya. Kemegahan dan kemewahan tempat rumah dan segala isi yang ada di dalam rumah Bendoro tersebut menunjukkan kejelasan identitas dan sekaligus status sosialnya. Sebaliknya, kondisi rumah di perkampungan nelayan yang miskin sangat memperjelas status sosialnya. Yang mana memandang nasi itu barang yang mewah, melihat nasi ibarat melihat segenggam emas. Dan bahkan memiliki sebuah cermin yang bagus dan besar pun tak lebih berarti dari pada memakan sekarung jagung. Nasi menjadi barang yang mewah, melebihi cermin yang indah, dan tentu saja, emas menjadi barang yang tak akan pernah termimpikan sebelumnya. Peruntungan dan nasib, dimana ia dilahirkan, di lingkungan priyayi ataukah di antara peluh rakyat miskin, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mereka (bagi yang terlahir sebagai rakyat jelata) merasa menjadi manusia yang dikutuk Tuhan. Dan di dalam novel ini hanya ditunjukkan 2 model rumah yang bertolak belakang, yaitu rumah Bendoro dan rumah-rumah milik rakyat kampung nelayan.
Kepulangan Gadis Pantai ke kampung halamannya di pesisir pantai, setelah dua tahun ia berada dalam gedung besar milik Bendoro, membuatnya merasa asing. Karena, selama dua tahun itu lah ia terkurung dengan berbagai aturan ini-itu, begini-begitu, sedangkan di kampung nelayan ia merasa bebas dari segala norma dan aturan yang mengikatnya disana. Di gedung milik Bendoro ia selalu makan enak, berpakaian yang bagus-bagus, memakai perhiasan yang mewah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Di rumah Bendoro ia tak boleh berbicara, bergaul dengan orang yang tak sederajat dengannya, tak boleh tertawa dan bahkan keluar rumah sembarangan. Namun di kampungnya ini ia bisa tertawa sepuasnya merasakan kebebasan yang selama dua tahun terkekang oleh norma dan aturan, di situ pula ia bebas berbicara dan bergaul dengan siapapun tanpa ada larangan.
Waktu pun terus berjalan tak terhenti, setidaknya terus bergerak dengan cepat dalam novel ini. Cerita penderitaan Gadis Pantai pun terus berlanjut. Dua tahun yang lalu iya masih menjadi Gadis Pantai yang biasa, selama dua tahun ia menjadi Mas Nganten yang bergelimangan harta, dan ketika memasuki tahun ketiga itu pula ia mengalami penderitaan yang benar-benar sebuah derita, yaitu dipisahkannya dari anaknya dan diceraikan pula oleh sang Bendoro.
“Gadis pantai tersedan-sedan. Buat apa pertama kali dalam hampir tiga tahun ini ia mengetahui ada kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaan Bendoro. Dan kekuasaan itu berada di tangan seorang wanita. Siapa dia? Siapa? Ia tersedan-sedan kembali. Ia rasai nasibnya sendiri pun berada di tangan wanita kuasa itu. Sia-sia kekukuhan dan kebesaran rumah batu ini. Ada kekuasaan lebih perkasa daripada kekukuhan perbentengan batu ini. Ia teriak-teriak dalam hati. Akhirnya ia dihantarkan oleh sedan dari isaknya.”
(Pramoedya, 2007: 258)
“Dokar macam ini juga yang menyeret aku dari orangtuaku dan kampungku. Dan dokar macam ini pula yang menyeret aku dari perkawinanku dan anakku.”
(Pramoedya, 2007:266)
4.3 Ras dan Tubuh
Sejak semula novel ini menggambarkan betapa hebatnya feodalisme Jawa pada masa itu. Dan juga menggambarkan bagaimana masyarakat setempat berlomba untuk menikahkan anak gadisnya dengan para pembesar Jawa (Bendoro) dengan maksud untuk menaikkan derajat, menjadi orang yang berderajat dan mendapatkan prestisi di kalangannya. Selain itu juga, novel ini juga menggambarkan usaha-usaha masyarakat setempat (terutama kalangan Bendoro atau priyayi) untuk menjadi sama dengan Belanda. Dari makanan yang para priyayi makan, dari perangkat makan (seperti sendok-garpu, pisau makan, serta piring yang digunakan), kebiasaan dan simbol-simbol budaya yang ke-belanda-belandaan, hingga sampai kemampuan dalam berbahasa Belanda.
Hal ini dapat kita lihat dari kutipan sebagai berikut.
“Seperempat jam kemudian terdengar suara Bendoro Guru berbicara dengan bahasa yang mereka tak kenal dan suara Agus Rahmat menjawab dalam bahasa yang mereka pu tidak kenal.
“Betapa hebatnya Bendoro mengajar putera-puteranya,” kepala kampung berbisik. “Sekecil itu sudah bisa bicara bahasa Belanda. Satu kata pun kita tak paham. Anakmu nanti,” kepala kampung menghadapkan mukanya kepada Gadis Pantai, “juga bakal diajarkan seperti itu.” Gadis Pantai Kecut, wajahnya meraih tangan emak dan menggenggamnya erat-erat.”
(Pramoedya, 2007:20)
“… Roti hangat yang masih mengepul yang dikirimkan tadi dari bengkel roti, telah tersayat-sayat di atas meja. Botol-botol selai, serbuk coklat, gula-kembang, perasan air jeruk, krupuk udang, dan bubur havermouth, telah terderet diatas meja. Kopi mengepul-ngepul dari cangkir porselen buatan Jepang. Sendok-garpu, pisau, semua dari perak putih mengkilat berderet-deret memusingkan kepala Gadis Pantai. Sebuah tempat buah dari perak begitu menyilaukan matanya. Otaknya terpilin-pilin dan ia lapar. apia pa guna alat sebanyak itu dan serba mengkilat?”
“…. Gadis pantai menggigil. Ia tak tahu yang bernama coklat, gula-kembang, dan mana pula selai.”
(Pramoedya, 2007:42)
Dari kutipan diatas dapat dilihat dengan jelas, betapa kemampuan berbahasa Belanda itu menjadi sesuatu yang sangat mewah. Keinginan mereka selain mendapatkan prestisi masyarakat dan juga menaikkan derajatnya, mengawinkan anaknya dengan Bendoro adalah salah satu tujuan agar kelak anak yang dilahirkan oleh anaknya (cucu) dapat hidup dan dibesarkan di lingkungan priyayi sehingga anak tersebut dapat menjadi seorang pembesar pula.
Selain itu juga, pola makan ala Eropa dengan mengkonsumsi roti dan bubur gandum sebagai sarapan paginya, memberikan nilai-nilai sosial tersendiri bagi feodal Jawa. Pada masa itu, beras nasi menjadi barang yang mewah, apa lagi roti. Tak seorangpun dapat mencicipi roti dan bubur gandum terkeculai jika ia seorang priyayi, orang berdarah biru (ningrat), orang Belanda, orang yang menjadi kaki tangan Belanda, dan juga orang yang menjadi Mas Nganten bagi Bendoro. Mereka (khususnya orang kalangan atas/priyayi) berusaha menyetarakan diri dengan Belanda, setidaknya dalam pola makan tidaklah akan merugi karena mereka akan diihat sebagai mahluk bermartabat karena bisa makan seperti orang Belanda, dan menggunakan sendok-garpu seperti apa yang orang Belanda gunakan untuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Pola pikir dan bahkan bentuk fisik pun tergambar dalam novel ini. Betapa sungguh berbedanya tubuh seorang priyayi dengan rakyat jelata. Sehingga terlihat sekalimana ia yang seorang priyayi dan mana pula ia seorang dari kalangan bawah. Orang yang langsat adalah orang yang mulia, sedangan orang yang tubuhnya terkelantang sinar matahari adalah hina. Seperti kutipan berikut.
“Waktu Bendoro terlelap tidur, dengan kepala pada lengannya, ia mencoba mengamati wajahnya. Begitu langsat, pikirnya. Orang mulia, pikirnya, tak perlu terkelantang di terik matahari. Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan lemak muda! Ia ingin rasai dengan tangannya betapa lunak kulitnya, seperti ia mengemasi si adik kecil dulu. Ia tak berani. Ia tergeletak diam-diam di situ tanpa berani bergerak, sampai jago-jago di belakang kamarnya mulai berkokok. Jam tiga. Dengan sigap Bendoro bangun. Dan dengan sendirinya ia pun ikut serta bangkit.”
(Pramoedya, 2007:33)
Pentingnya gaya hidup atau penampilan dalam novel ini tidak hanya terdapat dalam persoalan hubungan rasial antara priyayi dengan rakyat biasa, melainkan juga dalam persoalan hubungan sosial antar anggota masyarakat setempat itu sendiri. Gaya hidup adalah indicator penting dari status sosial seseorang dan gaya hidup itu pula lah yang menempatkan Bendoro ke dalam golongan masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Sedangkan, Gadis Pantai, walaupun ia telah dinikahi oleh Bendoro dan tinggal di gedungnya, namun tetap saja ia dianggap sebagai perempuan kelas rendah, sehingga membuatnya terjepit dalam status sosial yang telah membiarkan ia lahir dan besar di dalamnya. Kekuatan tangan-tangan feudal Jawa yang tak kan mampu terlawan bagi tangan-tangan semacam Gadis Pantai, kepala kampung atau bahkan bapaknya sendiri.
4.4 Relasi gender
Novel ini setidaknya ada empat tokoh perempuan yang ada di dalamnya, yaitu Gadis Pantai, emak, bujang wanita, Mardinah dan Mas Ayu (Bendoro wanita yang akan dinikahi Bendoro). Gadis Pantai adalah gadis belia yang sangat lugu, tentu saja karena ia baru berusia 14 tahun kala itu, sebelum ia dinikahi Bendoro. Ia berasal dari kalangan rakyat bawah, penduduk kampung nelayan yang miskin, ia pun buta akan ilmu pengetahuan dan tata karma. Sedangkan Bendoro adalah priyayi yang terhormat yang memiliki pengetahuan agama yang luas. Kontras sekali dengan Mardinah. Seorang tokoh antagonis di dalam novel ini. Ia tiba-tiba dihadirkan oleh narator sebagai seorang janda, yang pernah menjadi Mas Nganten. Ia lahir di kota Semarang, ia sangat muda dan karena ia mampu membaca ia jauh lebih cerdas dari pada Gadis Pantai. Mardinah pun tahu benar bagaimana seharusnya menjadi Mas Ngaten yang baik dan benar. Karena merasa lebih pintar, dan lebih terhormat, Mardinah begitu meremehkan Gadis Pantai. Karena ia menganggap ia lebih berderajat karena ia lahir di kota sedangkan Gadis Pantai lahir di perkampungan nelayan yang miskin; Mardinah mampu membaca dan menulis, sedangkan Gadis Pantai hanya mampu membaca Al Quran saja. Ambisinya yang ingin membinasakan Gadis Pantai adalah hanya semata-mata karena ia di janjikan untuk dijadikan istri kelima bagi Bendoro Demak jika ia berhasil menyingkirkan Gadis Pantai dan menikahkan putri Bendoro Demak dengan Bendoro (priyayi yang menikahi Gadis Pantai).
Emak adalah ibu dari Gadis Pantai yang mengharapkan anaknya mendapat penghidupan dan derajat yang lebih baik. Bujang perempuan adalah pelayan Gadis Pantai ketika ia masih mengawali kehidupannya sebagai Mas Nganten. Sedangkan Mas Ayu adalah seorang perempuan berderajat yang akan dinikahi oleh Bendoro.
Hal yang sangat mencolok dalam novel ini adalah terpisahnya ibu dan anak secara paksa, dan diceraikannya seorang Mas Nganten setelah ia melahirkan anak bagi Bendoro. Dalam masyarakat feodal nampak sekali perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki. Berapa besarnya keinginan rakyat feodal untuk mendapatkan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan mereka mengharapkan adanya penerus bagi mereka. Dalam masyarakat ini anak perempuan hanya dianggap sebagai pengganggu saja dan tidak dapat dibanggakan. Perempuan dianggap sebagai tempat pelepasan birahi dan melahirkan anak saja. Apa lagi jika perempuan itu berasal dari rakyat rendahan. Selain itu pula, bagi seorang perempuan yang menjadi Mas Nganten akan diceraikan begitu saja oleh Bendoro setelah ia memberikan seorang anak kepada Bendoronya.
Seperti halnya apa yang dialami Gadis Pantai dalam novel ini. Setelah masuk tahun ketiga dari pernikahannya, dan setelah ia melahirkan seorang anak yang ternyata perempuan. Betapa murkanya sang Bendoro dan selang beberapa bulan setelah melahirkan, Gadis Pantai pun diceraikannya. Seperti kutipan berikut.
“Jadi sudah lahir dia. Aku dengar perempuan bayimu, benar?” “Sahaya, Bendoro.” “Jadi cuma perempuan?” “Seribu ampun, Bendoro.” Bendoro membalikkan badan, keluar kamar sambil menutup pintu kembali. Gadis Pantai memiringkan badan, di peluknya bayinya dan diciuminya rambutnya…”
(Pramoedya, 2007: 253)
“Anak ini, tuanku, bagaimana nasib anak ini?” Gadis Pantai memekik rintihan. “Anak itu? Apa guna kau pikirkan? Banyak orang bisa urus dia. Jangan pikirkan si bayi.” “Mestikah sahaya pergi tanpa anak sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk melihatnya?” “ Lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya anak.” Gadis Pantai tersedan-sedan. “Sahaya harus berangkat Bendoro, tanpa anak sahaya sendiri?” “Aku bilang kau tak punya anak. Kau belum pernah punya anak.” “Sahaya Bendoro.” “Pergilah.” “Tanpa anak ini perhiasan dan uang tanpa artinya, Bendoro.” “Kau boleh berikan pada si bayi.” Baik bapak maupun Gadis Pantai terdiam kehabisan kata. Dan bendoro menggoyang-goyangkan kursinya.”
(Pramoedya, 2007:258)
Gadis Pantai, seorang gadis dari kalangan rakyat rendahan, ia belum mengenal cinta dan dicintai, dan ia pun belum banyak tahu tentang kehidupan dan bahkan pengetahuan tentang etika dan tata karma rakyat feodal. Dalam usia yang sangat belia ia menjadi Mas Nganten. Kebahagiaan baginya adalah, masa-masa ketika ia masih hidup di pesisir pantai, dikampung nelayan yang kumuh dan miskin, bersama kedua orang tua dan saudara-saudaranya; bermain, bercengrama dan tertawa lepas bersama teman-temannya diatara bulir-bulir pasir hangat yang menjadi alas kakinya dan deburan ombak sebagai dendangan yang selalu mengiringi langkahnya. Semua terenggut ketika ia menjadi istri seorang Bendoro, yang walaupun dalam kehidupan priyayi ia mendapatkan cukup makan, pakaian yang bagus dan perhiasan yang indah, namun sesingkat waktu ia dicampakkan begitu saja, anaknya terenggut paksa dari pelukkannya. Ia pun kembali menapaki hidupnya semula, sebagai Gadis Panta dari golongan bawah.
5. Penutup
Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, merupakan novel pertama dari trilogi yang ditulisnya, sebuah novel tanpa terselesaikan, karena dua buku kelanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Novel ini bercerita mengenai relasi antara mas nganten dengan pembesar yang “memeliharanya”. Pembesar atau Ndoro merupakan orang Jawa yang berdarah biru yang memiliki korelasi dengan pemerintah Belanda. Novel ini sangat kritis sekali membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Pada dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat mencolok, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu. Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya, termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu saja.
Novel ini menggunakan teknik penceritaan orang ketiga mahatahu yang memungkinkan narator tidak terikat pada dunia cerita dan dapat bergerak bebas di dalamnya. Gerakan itu antara lain dinyatakan dalam penempatan posisi dan jarak dari narator terhadap dunia yang ada di dalam novel tersebut. Tokoh-tokoh dalam novel ini, terutama tokoh yang berasal dari rakyat biasa, memperlihatkan sikap mereka yang menentang dan akhirnya menerima begitu saja dalam menghadapi sikap dan kuasa para pembesar Jawa, yang akhirnya membawa kesengsaraan dan kenestapaan bagi mereka, dan tiada dampak sedikitpun bagi para pembesar karena bagi para bendoro rakyat biasa adalah orang golongan bawah yang tak sederajat dengan mereka. Bagi para bendoro (priyayi), rakyat jelata adalah budak yang dapat mereka perintah dan perlakukan semaunya.
Dalam struktur ruang dalam novel ini hanya banyak bergerak pada kamar dan ruang rumah sang Bendoro saja. Hanya sedikit pergerakan di sebuah jalan yang menghubungkan perkampungan nelayan dengan kota dimana Bendoro itu tinggal, dan juga kampung nelayan itu sendiri. Dari situ kita bisa melihat betapa kuatnya kuasa sang Bendoro. Segala aturan, norma dan tata karma yang tertanam kuat bersama keangkuhan feodalisme Jawa pada masa itu. Gadis Pantai tak leluasa bergerak bebas, sebebas usianya yang masih terlalu belia untuk mengerti mengapa ia dijadikan Mas Nganten. Lingkungan pergaulan yang sangat diatur, tak boleh berbicara dengan orang yang tak sederajat, tak boleh bergaul dan bercengkrama dengan orang rendahan. Terlebih lagi, tak boleh keluar rumah tanpa ijin. Pengekangan hak sebagai manusia yang bebas.
Di dalam novel ini waktu terus bergerak maju, sesuai bertambahnya usia Gadis Pantai. Masa lalu, masa sekarang dan masa depan sang Gadis Pantai tampil secara terpisah dan tersusun rapi; tanpa saling membayangi, tanpa saling menghancurkan dan membuat gerakan waktu yang terus bergerak maju. Sehubungan dengan struktur waktu yang demikian, dengan menampilkan kisah pilu Gadis Pantai yang menjadi Mas Nganten seorang Bendoro hingga pada akhir cerita yang tragis, dapat dilihat bahwa novel ini bersikap kritis terhadap feodalisme Jawa pada masa itu. Betapa kekuasaan, derajat dan harta adalah segala-galanya, dan manusia yang paling beruntung adalah mereka yang berderajat tinggi dan bahkan mereka yang menjadi kaki-tangan Belanda.
Dalam novel ini pun terdapat pula isu-isu gender di dalamnya. Penindasan laki-laki terhadap perempuan, pengekangan hak ibu terhadap anak dan tak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah tersebut di dalam sistem feodalisme Jawa pada masa itu. Laki-laki yang bebas berpoligami, dan perempuan dijadikan budak nafsu baginya. Sang Bendoro bebas mengambil gadis manapun, siapapun dari kelas bawah dan menjadikannya Mas Nganten, Bendoro pun berkuasa mencampakkannya begitu saja dan mencari gadis lain untuk dijadikannya Mas Nganten, selama itu pula Bendoro dianggap masih perjaka sebelum ia menikahi gadis yang sederajat atau sekelas dengannya. Dan perilaku itu terus berlangsung hingga ia menikahi seorang gadis yang sederajat dengannya. Pada akhirnya pula, ketika para Mas Nganten melahirkan seorang anak, ia langsung menceraikannya dan mengambil anaknya itu. Ia memisahkan ibu dengan anak. Terlebih lagi, anggapan rakyat feodal bahwa anak laki-laki adalah anak yang bisa dibanggakan dan anak yang bisa meneruskan kekuasaannya, sehingga anak perempuan itu seperti manusia yang menyusahkan, tak berdaya dan tak dapat dibanggakan. Hal ini terlihat dari sikap sang Bendoro ketika ia tahu bahwa Gadis Pantai melahirkan seorang bayi perempuan, betapa murkanya ia. Secara struktural, dalam relasi-relasi konkret antar tokoh, novel ini cenderung menempatkan perempuan dalam posisi yang inferior di hadapan laki-kali. Tentu saja, dari situ, novel ini megnandung banyak gagasan mengenai emansipasi perempuan, pembebasan perempuan dari penindasan budaya yang patriarkis.
Sungguh, novel ini bentuk dari resistensi terhadap feodalisme Jawa pada masa itu. Mengkritis feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Inilah potret nasib buruk kaum perempuan desa di bawah feodalisme Jawa selama beberapa abad bahkan sampai abad 20.
DAFTAR PUSTAKA
Faruk, DR. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2007.
Gandhi, Leela. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Qalam. Yogyakarta. 1998.
Keith Foulcher dan Tony Day. Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern. Yayasan Obor Indonesia dan KITLV. Jakarta. 2006.
Pramoedya Ananta Toer. Gadis Pantai. Lentera Merah. Jakarta. 2007.
http://www.kirjasto.sci.fi/pram.htm
http://id.shvoong.com/books/novel/1720107-gadis-pantai/
http://ms.wikipedia.org/wiki/Gadis_Pantai
[1] Faruk, DR. 2007. Bemenggu Pasca-Kolonial, Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. Pustaka Pelajar. Jakarta. Halaman 255.
[2] Ibid. Hal 259.
[3] Ibid. Hal 262.
[4] Ibid. Hal 262.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar