Minggu, 30 Maret 2008

semiotika dalam secangkir kopi

“Secangkir Kopi”
Dalam
Rajutan Semiotika




Awalan

Dalam kehidupan kita, terdapat banyak benda yang bisa kita jadikan tanda. Benda-benda itu tentunya juga memiliki makna tersendiri, tergantung bagaimana kita menginterpretasikannya. Gambar atau simbol adalah bahasa rupa yang bisa memiliki banyak makna. Suatu gambar bisa memiliki makna tertentu bagi sekelompok orang tertentu, namun bisa juga tidak berarti apa-apa bagi kelompok lain. Struktur arsitektur sebuah bangunan, rambu-rambu lalulintas, suara lonceng gereja, bendera, bunyi gong atau bahkan sebuah lukisan pun merupakan suatu tanda, memiliki suatu makna. Misalkan pada gambar 01 berikut dibawah ini. Bentuk banguan ini mirip atau hampir serupa dengan bentuk perahu, topi pendeta atau bahkan seperti bebek. Semua tergantung bagaimana kita menginterpretasikan gambar tersebut karena sebuah gambar itu memang memiliki multi-interpretasi.


Gambar 01. gereja Peziarahan Notre-Dame Du Haut (Le Corbusier)

Dalam memaknai suatu gambar, benda atau apapun yang ada disekitar, kita perlu mempelajari suatu ilmu tentang tanda, yaitu semiotika. Banyak sekali pakar semiotika yang bermunculan dengan berbagai pemikiran mengenai semiotika itu sendiri. Dalam paper ini penulis mencoba mengartikan sebuah gambar dengan menggunakan pendekatan semiotika berdasarkan pemikiran Peirce. Gambar yang akan dianalisis diambil dari koran harian Kompas pada kolom karier di dalam rubik Klasika.[1]
Gambar ini merupakan hasil dari sebuah fotografi, yang sebelumnya didesain sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu sisi artistik yang memiliki makna tersendiri, dan kembali lagi, makna yang dihasilkan tergantung bagaimana kita menginterpretasikannya, yang bisa kita nilai dari sudut pandang ideologi, etika atau yang lainnya.


Pendekatan Semiotika : Charles Sander Peirce
Semiotika adalah ilmu tanda. Charles Sander Peirce, ahli filsafat dan tokoh semiotika modern Amerika menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Menurut Peirce kata ‘semiotika’, merupakan sinonim kata logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotika bagi Peirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subjek yaitu tanda (sign), objek (object) dan interpretan (interpretant).[2]
Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik.[3] Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Pendekatan yang dilakukan oleh Peirce adalah pendekatan triadic, karena mencakup tiga hal yakni tanda, hal yang diwakilinya serta kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda tersebut.
Pada prinsipnya, semua tanda tidak perlu membentuk atau memiliki relasi antara penanda dan petanda, tapi dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan banyak pola penggunaan tanda yang menunjukkan hubungan-hubungan yang berbeda antara penanda dan petanda. Pierce membagi tipologi tanda berdasarkan objek (detonatum) menjadi tiga kategori, yaitu : iconic sign (tanda ikon), indexical sign (tanda indeksial atau indeks), dan symbolic sign (tanda simbolis atau simbol).[4]

Ikon adalah segala sesuatu yang dapat dikaitkan dengan suatu yang lain. hubunganya terletak pada persamaan atau kemiripan. Tanda ikonik dapat mengungkapkan sesuatu karena antara penanda dan petanda memiliki keserupaan atau kemiripan wujud ataupun kualitas-kualitas tertentu. Misalkan bentuk arsitektur suatu bangunan, kita bisa ambil contoh gedung Sydney Opera House (Jorn Utzon) yang ada di Australia (lihat gambar 02). Jika kita perhatikan sekilas bangunan ini menyerupai perahu layar, cangkang kerang atau bahkan kura-kura. Atau contoh lain, misalkan foto mengindikasikan objek yang tergambar di situ.
Gambar 02. Sydney Opera House

Tanda indeksial atau indeks menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Misalkan tulisan museum pada suatu gedung menunjukkan bahwa gedung itu adalah museum (lihat gambar 03). Asap menunjukkan ada api.


Gambar 03. Tulisan Museum pada sebuah gedung

Tanda simbolik atau simbol menekankan pada kesepakatan, kebiasaan atau konvensi masyarakat yang melandasi hubungan arbitrer antara penanda dan petanda. Karena makna tanda simbolis sepenuhnya didasarkan pada kesepakatan masyarakat, maka masyarakat dalam lingkup yang berbeda sangat mungkin memahami tanda dengan makna yang berbeda. Sebagai contoh, kita bisa melihat pada tugu Monas (lihat gambar 04). Tidak terdapat relasi yang serupa ataupun logis dengan kota Jakarta, namun tugu ini dijadikan simbol bagi kota Jakarta. Atau contoh lain misalnya, mengangguk berarti mengiyakan, menggeleng berarti tidak. Semua itu berdasarkan kesepakatan.


Gambar 04. Tugu Monas Jakarta

Suatu penanda dapat menjalin lebih dari satu petanda dan sebaliknya sehingga akan terbentuk pemahaman kita melalui hubungan tersebut. Suatu tanda tidak mungkin di bentuk di ruangan hampa tanpa sesuatu pola yang telah ada sebelumnya. Tanda juga tidak mungkin dibentuk secara terisolasi tanpa hubungan dengan manusia, objek maupun peristiwa di sekitarnya atau dijamannya. Oleh karena itu “konteks” selalu mempengaruhi suatu tanda.


Kajian Semiotika : Secangkir kopi

Setiap benda, gambar atau apapun yang ada disekitar kita merupakan suatu tanda, sesuatu yang memiliki makna, tergantung bagaimana kita menginterpretasikanya. Dalam rajutan semiotika ini penulis mencoba menganalisis sebuah gambar cangkir (lihat gambar 05). Gambar ini diambil dari harian Kompas, yang terbit pada 5 Mei 2007. Sebenarnya gambar ini ditujukan atau terdapat pada sebuah artikel yang berhubungan dengan kode etik dalam dunia kerja. Namun penulis mencoba menganalisis diluar jangkauan dari isi artikel tersebut.



Gambar 05. Secangkir Kopi

Dari gambar 05, kita melihat sebuah sendok, cangkir dan alasnya dengan air kopi yang sudah hampir habis. Pada gambar itu pula terlihat beberapa uang logam sen dan satu lembar uang dollar, serta kertas nota. Dengan melihat gambar tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa seseorang telah meminum secangkir kopi dan uang tersebut adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar secangkir kopi. Dari situ juga bisa kita simpulkan bahwa dari secangkir kopi telah terjadi suatu kesepakatan.

Suatu gambar menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Pada gambar tersebut kita melihat sebuah cangkir. Walaupun hanya sebuah gambar kita mengartikannya sebagai gambar sebuah cangkir, karena ada kemiripan dengan cangkir yang sesungguhnya. Di dalam cangkir tersebut juga terlihat air yang hampir habis, warna air dalam cangkir tersebut menyerupai air kopi, teh, coklat hangat atau bahkan susu coklat. Dari kemiripan atau kesamaan dari objek air tersebut kita bisa mengintrepretasikannya sebagai air teh, kopi atau sesuatu yang serupa lainnya. Begitupun dengan alas cangkir dan sendoknya, uang logam dan uang kertas, serta secarik kertas nota.

Gambar ini bisa menjadi index karena ada keterkaitan antara representamen (tanda) dan objeknya. Hubungan tanda dan objek bersifat konkrit, aktual, sekuensial atau kausal. Jika kita lihat gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu baru saja ada orang yang minum kopi. Hal itu ditandai dengan, misalnya : air kopi yang di dalam cangkir tinggal sedikit, adanya uang lebaran dan sen, serta ada bill (kertas tagihan).

Tanda ini juga bisa menjadi simbol. Karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat di Barat. Yaitu bagaimana cara membayar secangkir kopi. Dari tanda ini sebenarnya kita bisa tahu konvensi pembayaran dalam tradisi masyarakat Barat, dalam hal ini adalah Amerika. Bahwa seorang pembeli tidak harus menyerahkan uang kepada kasir, tapi dia cukup meletakkan sejumlah uang dibawah cangkir sesuai dengan jumlah tagihan yang tertera di dalam bill. Di sini terdapat terlihat adanya suatu kepercayaan: antara pembeli dan penjual, antara businessman dengan koleganya, antara pengacara dengan kliennya.

Jika dihubungkan dengan isi artikel yang bertemakan kode etik dalam dunia bisnis atau kerja, kita bisa memaknainya dengan sudut pandang yang lain. Dalam paper ini penulis mencoba menginterpretasikan gambar tersebut dari sisi ideologis, berdasarkan cara pandang penulis sendiri tentunya. Jika kita melihat sebuah cangkir, secara sederhana kita melihat cangkir adalah tempat untuk minum, wadah kecil untuk air. Namun cangkir bisa berarti suatu wadah untuk menampung sesuatu, suatu tempat yang digunakan untuk bertukar pikiran. Hal ini bisa kita lihat dari isi cangkir itu sendiri, yaitu air dalam cangkir. Sebuah cangkir bisa kita isi dengan air apapun yang kita sukai, ini berarti pula di dalam suatu wadah atau bisa kita sebut suatu komunitas, terdapat beragam pola pikir dan ideologi yang berbeda antar anggota komunitas. Isi dari cangkir itu adalah suatu pilihan, kita bisa mengisinya dengan air teh, susu, kopi atau coklat hangat. Dalam sebuah pilihan kita harus menyadari bahwa setiap hari, setiap saat kita dihadapkan pada pilihan sikap, dan mempunyai kesempatan untuk memilih yang baik. Semakin kompleks permasalaha dan berbagai resiko yang mendampinginya, seseorang akan semakin diharuskan untuk berfikir keras dan mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak. Dan alas cangkir itu sendiri bisa kita artikan sebagai dasar pemikiran, suatu ideologi dalam cara pandang, pemecahan suatu kasus atau permasalahan.
Dalam gambar terlihat pula sebuah sendok kecil, yang bisa kita sebut sebagai sendok teh. Sendok teh berfungsi sebagai penakar gula dan pengaduk agar gula larut dalam air yang ada di dalam cangkir tersebut. Pada makna lain, dalam kode etik sendok itu bisa kita artikan sebagai pengontrol, sebagai monitor dalam suatu aktifitas. Gula akan larut dalam air jika kita mengaduknya; air dalam cangkir akan tumpah jika kita mengaduknya terlalu kencang; dan teh akan terasa cukup manis jika kita bisa menakar gula sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sendok sebagai pengontrolan emosi.
Dalam gambar tersebut juga terdapat satu lembar uang dollar dan beberapa sen uang logam, serta secarik kertas tagihan. Ada uang, secangkir kopi dan secarik bill, berarti disitu sudah terjadi suatu kesepakatan. Yang berhubungan dengan kopi adalah kedai kopi atau kafe. Dalam kehidupan masyarakat modern, mengadakan pertemuan di sebuah kedai kopi atau kafe itu hal yang sudah biasa, karena mereka menginginkan suasana yang santai, akrab dan menyenangkan sehingga bisa menghasilkan suatu kesepakatan yang baik pula. Nota merupakan suatu kesepakatan, kesepakatan harga yang harus dibayarkan untuk secangkir kopi itu sudah tertera di dalam nota dan uang yang ada dibawah alas cangkir merupakan hasil dari kesepakatan tersebut. Ini merupakan suatu simbol, bahwa telah terjadi suatu konvensi dalam masyarakat Barat (kita sebut masyarakat Barat karena uang yang digunakan adalah dollar dan sen), suatu konvensi yang berdasarkan profesionalisme dan kepercayaan. Kita membayar sesuatu, kita mendapatkan sesuatu. Melakukan suatu usaha, menerima suatu hasil. Dalam budaya masyarakat modern, khususnya masyarakat Barat, seorang pembeli tidak perlu harus melakukan pembayaran di depan kasir. Cukup meletakkan sejumlah uang sesuai apa yang tertera dalam kertas tagihan, dan kemudian pergi, dan kita bisa menyebut ini sebagai suatu kepercayaan dalam bertransaksi. Dalam suatu transaksi bisnis, ataupun jual beli, kreativitas itu baik untuk mencari solusi, tetapi kreativitas tersebut tidak untuk merekayasa peraturan atau system. Suatu kesenangan merupakan pancingan kepekaan untuk menyensor rasa “nyaman” kita bila melakukan sesuatu yang pelik.


Akhiran: Mencoba Mempelajari dan Memahami

Begitu banyak makna yang akan kita dapatkan dalam mengiterpretasikan sesuatu, apa yang kita lihat ataupun tidak. Tak hanya sebuah gambar yang dianalisis oleh penulis, namun juga gambar-gambar yang lain, ataupun benda dan suara. Tampak jelas bahwa suatu benda, gambar atau suara dan lain sebagainya adalah merupakan tanda, dan tanda itu memiliki suatu makna tertentu tergantung bagaimana kita menginterpretasikan tanda-tanda tersebut.




A cup of Engagement’s Tea, Sabtu, 16 Juni 2007

Indah Marti Refianti
23919/IV-13/9/06

Matakuliah : Pendekatan Semiotika dan Hermeneutika
Dosen Pengampu : Drs. Kris Budiman, M.Hum







DAFTAR PUSTAKA



Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik. 2004. hal. 25

Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas Semiotika Sastra dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik.

Kompas, Sabtu, 5 Mei 2007.

Peirce, Charles S. “Logic as Semiotics : The Theory Of Sign” yang diedit oleh Robert Elnnis (1986) dalam “Semiotics : An Introductory Anthology” Hutchinson University Library, h.1

http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/request.php?PublishedID=DKV00020205

http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika

http://www.google.co.id/search?q=semiotika&hl=id&start=60&sa=N

[1] Harian Kompas, Sabtu, 5 Mei 2007. dalam sebuah artikel yang berjudul Kode Etik dengan penulis Eileen Rachman&Sylvina Savitri (EXPERD, Soft Skills Training). Namun yang akan dianasis hanya gambarnya saja, bukan judul dan isi artikelnya atau kaitannya dengan artikel tersebut. Tapi pada akhiran paper penulis mencoba mengkajinya dalam cara pandang etika.
[2] Dikutip dari artikel yang berjudul “Rajutan semiotika untuk sebuah Iklan: Studi Kasus Iklan Long Beach” oleh Freddy H. Istanto. Yang di download pada URL http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/request.php?PublishedID=DKV00020205
[3] Dikutip dari artikel semiotika. Yang di download pada URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika
[4] Charles S. Peirce, “Logic as Semiotics : The Theory Of Sign” yang diedit oleh Robert Elnnis (1986) dalam “Semiotics : An Introductory Anthology” Hutchinson University Library, h.1

3 komentar:

Anonim mengatakan...

wew , kena demam ngeblog juga ???

siap2 jadi musuh RS ..

hehehhe

klo soal duit di inet sbaeknya jangan ...
cos ada yg bisa dapet n enggak, cmn minoritas aja yg dapet ..

duit yg ngasih Gusti Allah swt .
g bakal lari2 ke mana2 koq ...
sharing ilmu terus aja ... itu saranqu ..

tengkyu ...

Just INDAH REPHI mengatakan...

@riesta:salam kenal kembali ^_^
@deanet alias Dian : kata2 mu benar sekali kisanak ahahah

Sutikno mengatakan...

slm kenal... isi blognya menarikkk... sya tnggu kommentnya