Minggu, 30 Maret 2008

Perempuan dan Fashion

PEREMPUAN DAN FASHION


Awalan
Perempuan dan fashion, merupakan dua kata yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan. Fashion merupakan suatu media untuk menunjukkan identitas diri, suatu media untuk mengekspresikan disi, terlebih bagi kaum perempuan. Fashion pun merupakan suatu hak yang “sedikit” diperjuangkan bagi kaum feminis mengenai persamaan gender dalam hal berpakaian. Perempuan pun membutuhkan kenyamanan dan keleluasaan dalam berbusana. Dulu, pakaian untuk perempuan hanyalah gaun dan rok panjang, sedangkan celana atau pantaloon hanya diperuntukan bagi laki-laki. Sedangkan, pakaian perempuan yang berbentuk busana atau gaun panjang sangat membatasi ruang gerak perempuan dalam beraktivitas. Masalah inilah yang dihadapi kaum perempuan pada jaman dulu. Namun sekarang sudah banyak perubahan dalam hal berpakaiaan bagi kaum perempuan. Tak hanya diperuntukannya celana atau pantaloon bagi perempuan, namun juga begitu banyak pakaian dalam beragam mode yang didesain untuk perempuan. Dari pakaian, perempuan bisa menunjukkan identitasnya, dengan pakaian pula perempuan melakukan gerakan resistansi dan protes terhadap kekakuan norma dan budaya.
Dulu perempuan berpakaian hanya sebatas gaun panjang saja, atau bagi masyarakat jawa kaum perempuan memakai kebaya dan kain panjang, dan mayoritas pakaian perempuan itu cenderung tertutup. Hal ini dikarenakan masih kentalnya adat normatif, yang begitu mengatur dan mengekang hak perempuan, tak hanya dalam kehidupan rumah tangga dan sosial ekonomi dan politik; namun juga mengatur cara berpakaian perempuan sehingga perempuan jaman dulu cenderung kurang ekspresif. Sedangkan celana atau pantaloon hanya dipakai untuk kaum laki-laki dan hanya kaum perempuan pekerja di ladang saja yang mengenakannya. Namun suatu gerakan feminisme, dengan landasan keleluasaan dalam berpakaian dan kenyamanan serta persamaan perempuan dan laki-laki dalam hal berpakaian merubah semua aturan-aturan tersebut. Celana atau pantaloon sudah mulai diperkenalkan atau dibuat untuk kaum perempuan, bahkan tak hanya itu, sekarang pakaian perempuan tak lagi hanya berbentuk busana yang tertutup dan kuno, tapi pakaian perempuan sekarang lebih ekspresif dan menunjukkan sisi sensualitas sosok perempuan.
Fashion dijadikan sebagai suatu media untuk mengekspresikan nilai-nilai modernitas. Dari sinilah terlihat suatu pergerakan dari display ke identitas. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer, dan pembuatan pakaian yang seragam memungkinkannya menjadi bagian dari kebudayaan populer.
Perubahan pakaian perempuan secara berkala sangat terlihat pada pakaian perempuan di Eropa. Misalkan perubahan pakaian olahraga untuk perempuan. Cara yang mudah untuk menjelaskan perubahan dalam fashion adalah pada terma evolusioner sederhana, sebagai suatu indeks yang mempercepat kemerdekaan perempuan dan persamaan perempuan dengan laki-laki.
Bagi beberapa puritan yang radikal, fashion tidak pernah lebih dari ‘democracy of the image’, suatu fatamorgana yang menyesatkan keinginan ‘riil’ kita dengan mengubah mereka ke dalam komoditas, dan individualitas ke dalam konformitas (penyesuaian).[1] Fashion atau pakaian digunakan sebagai tempat struggle (perlawanan), sebagai arena di mana konflik gender dimainkan dalam bentuk-bentuk semi simbolik yang mungkin lebih tinggi dari pada drugs yang menekan kesadaran manusia. Selain itu, pakaian menjadi sebuah tempat ekspresi pada suatu solidaritas suatu kelompok atau komunitas.

Sebuah revolusi
Invansi kapitalis menjadi dasar terjadinya revolusi dalam kebiasaan, kepercayaan dan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak dari adanya ekspansi ekonomi dialami oleh setiap bidang kehidupan, tidak hanya dalam produksi namun hal konsumsi pun terjadi perubahan. Bahkan mulai sekarang fashion menjadi suatu media untuk mengekspresikan nilai-nilai modernitas.
Pakaian perempuan dan laki-laki merupakan simbol identitas diri. Pada abad ke 19 dan 20-an terjadi perubahan akan fungsi dan mode pakaian itu sendiri. bahan dari pakaian itu sendiri mempengaruhi fungsi pemakaiannya. Pakaian itu sediri menjadi identitas gender bagi wanita dan pria. Pakaian pria dengan celana dan kemeja panjangnya, sedangkan wanita dengan pakaian gaun panjangnya. Perubahan-perubahan tersebut misalkan perubahan yang terjadi pada pakaian olahraga perempuan dan laki-laki yang terjadi di Eropa. Dulu pakaian olahraga untuk wanita terkesan sangat “ribet”, gaun panjang dengan bahan yang kurang nyaman mempersulit ruang geraknya. Selain itu gaun-gaun yang dibuatpun hanya untuk cuaca tertentu, tidak bisa dipakai diwaktu hujan atau bahkan bersalju. Pakaian perempuan, kita sebut saja gaun, dibat dengan bahan yang kaku yang mempersulit ruang geraknya. Celana sendiri dianggap tabu bila dikenakan oleh kaum perempuan. Oleh karena itu para designer berlomba untuk menemukan suatu metode baru dalam menciptakan pakaian olahraga.
Pada abad ke 19, terjadi perubahan besar dalam dunia fashion, suatu pergerakan penampilan menjadi identitas. Fashion dijadikan sebagai tanda anggota dari suatu kelas, kasta atau pekerjaan. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer dan manufaktur pakaian massa yang memungkinkannya untuk menjadi bagian dari kebudayaan populer.
Akhir abad ke 19 dan awal abad 20, pakaian olahraga untuk wanita mengalami kemajuan yang pesat. Pada abad ke 18, para wanita tidak dapat mengekspresikan dirinya karena pakaian-pakaian tidak dapat dikenakan pada saat hujan, angin atau hujan salju dikarenakan mode atau bahan pakaian itu sendiri, kebiasaan ini mengalami perubahan pada abad ke 19, dimana para wanita bebas mengenakan pakaian yang mereka sukai setiap saat.
Trouser untuk perempuan merupakan perubahan fashion yang signifikan pada abad 20. Untuk beberapa abad, para wanita “Barat” menyembunyikan kaki-kakinya dalam gaun yang panjang; trouser dan pantaloon hanya dipakai oleh para artis dan akrobat. Secara paradoks, dalam budaya Islam para wanita menggunakan trouser dan para pria mengenakan jubah, tapi di dunia Barat sampai dengan tahun 1900an hanya wanita pekerja yang mengenakannya. Pada tahun 1950an trouser dan jeans menjadi suatu simbol anak muda. Tahun 1960an trouser digunakan sebagai pakaian formal, namun pemakaian trouser untuk perempuan mengalami perubahan yang lebih signifikan dibandingkan hemlines pada tahun-tahun setelah 1945.
Cara yang mudah untuk menjelaskan perubahan ini dalam terma evolusi yang sederhana, sebagai suatu indeks peningkatan kebebasan perempuan dan persamaan perempuan dengan laki-laki. Argumen yang kedua menjelaskan adopsi trouser dari seorang fungsionalis, bahwa mereka lebih nyaman dan praktis daripada rok.
Gaya merupakan sebagai cara hidup, gaya menunjukkan seseorang sebagai dirinya sendiri dan gaya merupakan suatu kesenangan. Inilah yang menjadi dasar keinginan perempuan untuk lebih ekspresif dalam berpakaian untuk menunjukkan identitas diri sebagai perempuan.


Pakaian sebagai Bahasa dan Tanda
Pakaian merupakan suatu konfirmasi perubahan dan kadang-kadang suatu inisiasi dari perubahan. Pakaian kadang merupakan suatu makna dari dasar yang natural dan terma-terma konflik politik dan kadang merupakan suatu makna menciptakan konsensus. Kadang pakaian juga merupakan suatu instrument percobaan untuk mendominasi dan suatu gudang persenjataan untuk melakukan perlawanan dan protes.
Charles Sander Peirce[2], ahli filsafat dan tokoh semiotika modern Amerika menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Menurut Peirce kata ‘semiotika’, merupakan sinonim kata logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Fashion atau pakaian merupakan sebuah tanda. Simbol yang menunjukkan identitas diri, dan fashion yang merupakan sebuah simbol atau tanda berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, sarana untuk melakukan resistensi terhadap kekakuan budaya dan ideologi.
Pakaian merupakan materi budaya di dalam suatu mode dinamis yang aktif. Di dalam aturan diakronis, pakaian disajikan sebagai suatu alat komunikasi melalui perubahan sosial yang direnungkan, diusulkan, diinisiasikan, diselenggarakan dan ditolak. Pakaian membuat materi budaya pada cara yang berbeda dan cara yang jelas.
Ada suatu karakteristik tersendiri mengenai pakaian ketika dijadikan suatu jalan yang digunakan sebagai kiasan tertentu ketika melihat pakaian dari aspek ekspresif. Literatur kritis menyatakan bahwa pakaian merupakan suatu jenis bahasa.[3] Perbandingan bahasa dan pakaian tidak selalu diharapkan dengan tingkatan yang sama dengan sesuatu hal yang serius. Karena itu diperlukan suatu metafor untuk membantu memperjelas properti-properti tertentu yang diberikan oleh pakaian dan bahasa.[4]
Menurut Grant McCracken aplikasi dari model linguistik struktural ke pakaian itu kurang sesuai. Ketika pakaian menyerupai bahasa, pakaian akan meninggalkannya di dalam suatu cara yang fundamental. Ironisnya, ketika pakaian secara penuh menyesuaikan ke bahasa dan prinsip-prinsipnya mengenai seleksi dan kombinasi, sepenuhnya gagal sebagai suatu alat semiotik. Atau dengan cara yang lain, ketika pakaian sebagai suatu kode itu hampir menyerupai bahasa, hanya sedikit yang berhasil sebagai alat komunikasi. Terdapat perluasan suatu perbedaan yang fundamental antara bahasa dan pakaian. Perbedaan ini harus diperhitungkan jika kita akan membuat suatu pengujian yang sukses mengenai aspek komunikatif dari bahasa.
Yang sesuai untuk memecahkan kode perilaku adalah semacam kode yang khas dari pakaian. Pakaian sebagai alat komunikasi tidak mempunyai aspek sintagmatis yang asli. Kode tidak memberikan aturan-aturan kombinasi untuk manipulasi seleksi-seleksi paradigmatik ke efek-efek semiotik. Kombinasi unsur-unsur pakaian bukan suatu bagian krusial dari kreasi pesan-pesan yang diberikan oleh pakaian. Kode tidak mempunyai kapasitas generatif. Para penggunanya menikmati bukan kebebasan kombinatorial.
Kode pakaian yang ditetapkan tidak hanya komponen-komponen dari pesan, tapi juga pesan-pesan mereka sendiri, yang mana pesan-pesan tersebut datang seolah-olah seperti pra-fabrikasi. Karena pemakai tidak memiliki kebebasan kombinatorial, interpreter dari pakaian menguji suatu perlengkapan tidak untuk suatu pesan baru tapi untuk sesuatu yang kuno atau lama yang ditetapkan oleh konvensi. Kebebasan kombinatorial bisa dilatih oleh pemakai hanya dengan efek yang membingungkan interpreter. Kebebasan kombinatorial tidak bisa coba dalam pakaian tanpa melepas pakaian ini dari potensi dan efek kombinatorialnya.
Pada sebuah artikel berjudul “Language and its Relation to Other Communication System” (1971)[5], Jakobson berpendapat bahwa untuk alat-alat komunikasi non-linguistik tertentu, kode merupakan suatu koleksi pesan-pesan dibandingkan suatu alat untuk kreasi mereka. tidak sama dengan bahasa, yang menetapkan tanda dan aturan untuk kombinasinya ke dalam pesan-pesan, sebuah sistem seperti halnya pakaian memberikan peluang yang tidak generatif, dan oleh karena itu harus menetapkan kemajuan dari tindakan komunikasi apapun pesan-pesan yang mana kodenya itu mampu (cf. Culler 1975:3-54).[6]


Pakaian dan gerakan kaum perempuan
Banyak hal yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk menunjukan eksistensinya dengan media pakaian. Pakaian dan segala atributnya memiliki makna tersendiri bagi pemakainya. Sebagai contoh adalah pakaian yang dikenakan oleh gadis Harajuku, sebuah gaya berpakaian para pemuda di Jepang (gambar 01). Ini merupakan simbol protes atas kejenuhan bagi kaum pemuda terhadap adat yang berlaku di sana, sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap kekakuan adat budaya Jepang dalam hal berpakaian. Protes tersebut mereka lakukan dengan cara berpakaian ala serba-tabrak, dengan gaya rambut dan aksesoris yang senada pula.


Gambar 01. Gadis Harajuku

Pakaian bikini bangsa “Barat” pada awalnya pun tak seterbuka sekarang. Dulu para perempuannya berenangpun dengan pakaian yang sopan dan tertutup. Namun dengan adanya revolusi busana untuk renang, desainer membuat bikini yang seperti sekarang. Lebih terbuka dan nyaman, bahkan menonjolkan sisi sensualitasnya. Bahkan dalam ajang Miss Universe ataupun Miss World, ada kategori atau penjurian tersendiri yang mewajibkan pesertanya untuk mengikuti sesi pakaian renang (bikini). Semua dengan alasan bahwa bikini merupakan busana yang universal, semua orang pasti memakainya ketika berenang. Namun ada juga gerakan feminisme yang menolak sesi pemakaian bikini dalam penjurian kompetisi tersebut; dengan alasan yang berhubungan dengan ideologi agama dan budaya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa pakaian itu tidak hanya sekedar sebagai pembalut tubuh, namun pakaian juga menjadi suatu simbol bagi pergerakan perempuan. Perubahan demi perubahan dilakukan untuk memberikan kenyamanan bagi perempuan dalam berpakaian. Sedikit merobek aturan-aturan cara berpakaian perempuan. Walaupun pakaian merupakan permasalahan yang sederhana, namun memiliki arti yang cukup signifikan bagi kaum perempuan.
Jika kita mau melihat lagi dari mana awal terciptanya suatu aturan berpakaian bagi perempuan, mungkin dari sana kita bisa mendapatkan suatu solusi. Sebenarnya yang membuat klasifikasi ataupun aturan-aturan itu adalah kaum elit dan ningrat. Pada masyarakat bawah, tidak ada aturan-aturan normatif yang mengatur bagaimana perempuan itu berpakaian. Para perempuan pekerja dari dulu sudah memakai celana untuk memudahkan mereka dalam bekerja. Aturan atau klasifikasi tersebut dibuat oleh golongan ningrat dan elit untuk membedakan golongan mereka dengan golongan kelas bawah.


Kecenderungan Patriarki dalam Masyarakat
Unsur dasar dari ketidaksamaan gender dalam masyarakat yang bersumber pada terlalu kuatnya sistem patriarki yang berlangsung dalam masyarakat. Dan ini memungkinkan untuk menjadi salah satu penyebab terbentuknya aturan-aturan mengenai pakaian untuk kaum perempuan.
Max Weber[7] mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem pemerintahan yang mana kaum laki-laki mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala rumah tangga. Dan sistem tersebut dominasi dari para lelaki muda yang belum menjadi kepala keluarga juga tidak kalah pentingnya, jika tidak lebih penting dibandingkan elemen dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui rumah tangga.
Claudia Von Werlhof,[8] dengan perspektif radikal-historis menguraikan bahwa awal munculnya patriarki berasal dari “tradisi perang” di mana eksistensi patriarki dianggap tergantung sepenuhnya pada kelangsungan dan kesinambungan perang yang memposisikan kaum laki-laki sebagai kelas dominan karena kekuatan fisiknya. Perang juga mengakibatkan hancurnya sistem matriarki dalam masyarakat pra-perang. Dengan demikian logika patriarki merupakan logika perang yang berarti bahwa semua institusi sosial yang ditemukan dan diciptakan oleh patriarki secara prinsipil berasal dari pengalaman perang, baik dalam persoalan ekonomi, sosial-politik, maupun ketuhanan.
Ada pula pandangan kritis terhadap patriarki yang muncul dari para pemikir yang merupakan kelompok analisis sistem ganda. Kelompok ini berasumsi bahwa dasar patriarki ‘berjalan bersama’ dengan kapitalisme. Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa patriarki dan kapitalisme, karena dalam masyarakat feodal atau dalam masyarakat sosial sekalipun, patriarki itu suah ada. Kelemahan dari sistem ini adalah apakah mereka bisa dengan tepat untuk terus mempertahankan dualitas antara kapitalisme dan patriarki dalam analisisnya. Sedangkan para teoritis sistem ganda mempertahankan pembedaan patriarki dan kapitalisme dengan menekankan dua sistem tersebut pada level-level yang berbeda dari masyarakat, kapitalisme pada ekonomi dan patriarki pada ketidaksadaran.
Sementara itu, Walby mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik di mana laki-laki mendominasi, menekan, dan mengeksploitisir perempuan.[9] Gender bukanlah suatu pembagian yang dipaksakan oleh kelas dominan, dalam hal ini adalah laki-laki, tetapi ia telah menjadi sesuatu yang beroperasi melampaui resistensi dan menjadi sebuah consensus yang sangat alamiah dimana banyak kaum perempuan yang tidak menyadarinya
Menurut Walby[10], budaya patriarchal merupakan struktur yang diciptakan dari rangkaian beragam praktik-praktik patriarchal. Dalam dunia filsafat, agama pedidikan maupun norma-norma tradisi, perempuan seringkali menjadi subjek direndahkan, sementara laki-laki adalah subjek yang ‘berhak untuk berkuasa’.
Dari uraian diatas patriarki bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem struktur sosial dalam masyarakat yang sudah berlangsung dalam rentang historis yang cukup lama dan bertransformasi secara kontinyu dimana kaum laki-laki mempunyai posisi dominan dan dengan posisinya itu mereka melakukan eksploitasi terhadap perempuan yang mewujud dalam praktik sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam ruang privat maupun publik. Di sini terdapat suatu kekuatan yang hakiki bagi laki-laki untuk mengatur segala sesuatu mengenai perempuan; yang mana tata cara berpakaian pun terkandung di dalamnya, sehingga terdapat suatu justifikasi laki-laki terhadap perempuan, adanya tindakan pengaturan yang ketat dalam berpakaian untuk kaum perempuan.

Akhiran: Keanggunan Perempuan
Perkembangan pemikiran dan gerakan feminis memunculkan banyak perdebatan yang cukup hangat dalam lingkungan akademis. Pergulatan wacana tidak hanya terbatas pada tuntutan persamaan dalam praktik-praktik ekonomi, politik, sosial dan budaya yang nampak lebih menonjol untuk diperdebatkan, namun dalam hal pakaian pun kaum feminis menuntut adanya persamaan gender dan kebebasan untuk berekspresi dan mengeksplorasi diri.
Jika kita melihat perempuan kita pasti teringat akan sosok seorang ibu. Sosok ibu itu identik dengan sesuatu yang berhubungan dengan keanggunan dan kelembutan. Tata cara yang dibuat untuk mengatur pakaian-pakaian perempuan itu sebenarnya hanya untuk melindungi “keanggunan dan kelembutan” tersebut. Atau mungkin aturan tersebut muncul karena adanya kenderungan patriarki dalam kehidupan masyarakat.
Namun kadang perempuan tak ingin dibatasi. Bagaimana penilaian kita jika melihat sosok seorang ibu yang mengasuh anaknya dengan pakaian yang nyentrik? Atau bagaimana jika kita melihat seorang ibu rumahtangga dengan pakaian yang kurang sopan? Atau melihat seorang gadis dengan pakaian sedikit terbuka? Satu hal yang pasti keluar dari pikiran kita adalah men-judge ibu dan gadis itu sebagai perempuan yang kurang baik atau bahkan berperangai buruk, walaupun kita sendiri tidak mengenal ibu atau gadis tersebut secara personal.
Satu contoh lagi, dan ini berdasarkan interview langsung dengan rekan-rekan lawan jenis saya yang berada di Jakarta. Mayoritas mereka memiliki pasangan yang berjilbab. Ketika saya menanyakan hal ini, mereka memberikan alasan bahwa perempuan yang berjilbab adalah perempuan yang baik, perempuan yang bisa menjaga dirinya dengan baik dan memiliki pengetahuan tentang agama dengan baik sehingga bisa terjamin semua tingkah laku dan kepribadiannya; sedangkan perempuan-perempuan di Jakarta yang berpakaian ala kadarnya, sedikit terbuka dan lebih ekspresif dalam berpakaian itu cenderung perempuan yang kurang baik, karena dalam berpakaian pun mereka tidak bisa menjaga auratnya dan pastinya dalam pergaulannya pun mereka kurang bisa menjaga diri. Sebenarnya ini hanya justifikasi yang sepihak. Seseorang tidak bisa dinilai bagaimana dia berpakaian dan sejauh mana dia bisa menjaga dirinya. Itu tidak bisa dilihat dari pakaian apa yang dia pakai. Dan justifikasi yang sepihak itu diberikan berdasarkan sudut pandang ideologi agama, adat dan budaya. Perempuan yang baik adalah perempuan yang bisa menjaga dirinya dengan baik. Baik dari sikap, tingkah laku maupun cara berfikir.




A cup of engagement’s Tea for my family
19 Juni 2007
Indah Rephi
23919/IV/-13/9/06

Matakuliah : Gender dan Kebudayaan
Dosen Pengampu: Dr. Wening Udasmoro

DAFTAR PUSTAKA



McCracken, Grant. “Clothing as Language : An Object Lesson in the Study of the Expressive Properties of Material Culture” dalam Culture and Consumption. New Aproaches to the Symbolic Character of Consummer Goods and Activities. Indiana University Press, 57- 70: 1998.

Peirce, Charles S, “Logic as Semiotics : The Theory Of Sign” yang diedit oleh Robert Elnnis (1986) dalam “Semiotics : An Introductory Anthology” Hutchinson University Library, h.1

Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.

Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.






[1] [1] Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.
[2] Charles S. Peirce, “Logic as Semiotics : The Theory Of Sign” yang diedit oleh Robert Elnnis (1986) dalam “Semiotics : An Introductory Anthology” Hutchinson University Library, h.1
[3] Dalam artikel yang ditulis oleh Grant McCracken yang berjudul “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture,” tertulis bahwa beberapa observer melakukan penelitian terhadap pakaian yang dikenakan oleh beberapa negara menyatakan bahwa pakaian itu merupakan suatu bahasa.
[4] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[5] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[6] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[7] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[8] Claudia von Werlhof, “Capital Patriarchy and the Struggle for a ‘Deep’ Alternative”, makalah yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional bertajuk A Radically different world view is possible. The gift-economy inside and outside Patriarchal Capitalism, Las Vegas, USA, 13th-14th of November 2004, diakses dari http://uuhome.de/global/downloads/LasVegas.pdf.

[9] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[10] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.

Tidak ada komentar: