Minggu, 30 Maret 2008

Harajuku & punk

Punk dan Harajuku
Pergantian Tren Fashion di Indonesia




Awalan

Era globalisasi sedikit banyak membawa dampak tersendiri dalam kehidupan masyarakat di suatu komunitas atau bahkan di suatu negara. Begitu pesatnya kemajuan dalam sistem informasi dan teknologi menjadi tonggak terjadinya perubahan itu sendiri. Seiring pesatnya kemajuan teknologi memberikan kemudahan dalam sistem informasi. Dengan semakin canggihnya sistem informasi mempermudah kita dalam mengetahui apa saja yang terjadi di setiap penjuru dunia dan segala perubahaannya. Tidak hanya perubahan dalam bidang ekonomi, politik saja tetapi dalam gaya hidup dan fashion yang tentu saja sedikit banyak membawa pengaruh tersendiri dalam dunia fashion dan life style di suatu negara. Salah satu pendukung perubahan tersebut adalah televisi. Televisi memberikan pengaruh tertentu dalam mempopulerkan gaya dan mode fashion. Memberitakan ke masyarakat luas pakaian apa saja yang sedang menjadi tren saat ini.
Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer dan manufaktur massa dari pakaian yang memungkinkannya menjadi bagian dari kebudayaan populer. Berpakaian yang fashionable seperti suatu fenomena massa yang populer dan seperti suatu aktivitas kesenangan tersendiri telah dipengaruhi oleh aktivitas kesenangan lainnya dari “mesin waktu” yaitu olahraga, musik, film dan televisi, yang mana semuanya memproduksi cara baru dalam berpakaian. Jurnalisme, periklanan dan fotografi berperan sebagai sendi engsel komunikasi massa yang menggabungkan fashion ke dalam kesadaran populer.
Indonesia sendiri merupakan suatu negara yang ‘gampang’ mengadaptasi fashion dan gaya hidup dari negara lain. suatu negara yang mengikuti terus arus tren. Trend fashion dan lifestyle ala Punk dan Harajuku pun membooming di Indonesia akhir-akhir ini, terutama di kalangan remaja. Sebuah pertanyaan yang menggelitik, “ kapan Indonesia bisa menjadi trend center, yang menonjolkan identitas diri sebagai bangsa yang multikultural?”. Setiap gaya pakaian dan juga gaya hidup selalu mengalami perubahan, pergeseran, pergantian dan kemunduran, tergantung dari gaya apa yang sedang trend saat ini di negara-negara trend center. Di dalam tulisan ini akan di kaji perubahan antara gaya Punk dan Harajuku yang sempat membooming beberapa waktu terakhir ini di Indonesia.


Fashion sebagai Bahasa

Pakaian merupakan suatu konfirmasi perubahan dan kadang-kadang suatu inisiasi dari perubahan. Pakaian kadang merupakan suatu makna dari dasar yang natural dan terma-terma konflik politik dan kadang merupakan suatu makna menciptakan konsensus. Kadang pakaian juga merupakan suatu instrument percobaan untuk mendominasi dan suatu gudang persenjataan untuk melakukan perlawanan dan protes.
Pakaian merupakan materi budaya di dalam suatu mode dinamis yang aktif. Di dalam aturan diakronis, pakaian disajikan sebagai suatu alat komunikasi melalui perubahan sosial yang direnungkan, diusulkan, diinisiasikan, diselenggarakan dan ditolak. Pakaian membuat materi budaya pada cara yang berbeda dan cara yang jelas.
Ada suatu karakteristik tersendiri mengenai pakaian ketika dijadikan suatu jalan yang digunakan sebagai kiasan tertentu ketika melihat pakaian dari aspek ekspresif. Literatur kritis menyatakan bahwa pakaian merupakan suatu jenis bahasa.[1] Beberapa observer telah melakukan penelitian terhadap pakaian-pakaian yang dikenakan oleh rakyat dari beberapa negara. Bogatyrev mencatat kemiripan antara kostum rakyat Moravian dan bahasa (1971:84). Turner menyebut bahasa tubuh Tehikrin suatu jenis “symbolic language/bahasa simbolis” (1969:96), Wolf berbicara tentang kosakata system simbolis dari kostum perkabungan orang China (1970:189). Panggilan kotor jubah orang Ethiopia merupakan suatu “bahasa nonverbal” (1960:558), dan Nash mengacu pada satu aspek pakaian jaman sekarang sebagai suatu “silent language/bahasa diam” (1977:173). Sahlins membandingkan pakaian sebagai sesuatu yang terperinci dan mengacu pada “sintaks,” “semantics,” dan “tatabahasa/grammar,” dari pakaian (1976:179). Neich lebih memfokuskan dalam perbandingan dan advokasi-advokasi manfaat dari suatu “model linguistik secara eksplisit” untuk studi dekorasi-diri New Guinea (1982:214). Tendensi ini untuk membandingkan pakaian ke bahasa itu tidak terbatas hanya pada studi-studi antropologi; pemikiran ini juga terdapat pada pemikiran dari para ilmuwan sosial lainnya.[2]
Perbandingan bahasa dan pakaian tidak selalu diharapkan dengan tingkatan yang sama dengan sesuatu hal yang serius. Kadang ini disajikan hanya seperti sebuah ornament rhetorical. Bahkan kiasan/metafor digunakan lebih penuh arti, sulit untuk menyalahkan refleks dari sumbernya. Karena itu kata kiasan sangat menolong, dan ini berhasil di dalam memperjelas properti-properti tertentu yang diberikan oleh pakaian dan bahasa. ini juga nyata bahwa perbandingan bahasa dan pakaian telah memberikan banyak pekerjaan dan kemajuan di dalam antropologi baru-baru ini. Hal ini berlanjut di dalam tradisi penerapan model-model linguistik ke studi fenomena linguistik (e.g., Levi-Strauss, 1963).[3]
Masih harus diamati bahwa metafor yang digunakan secara bebas telah memulai untuk “diam” dan menerima pada perbaikan kebijaksanaan konvensional. Apa yang lebih nyata dan menjelaskan gagasan persamaan dan pernyataan yang lebih dari fakta yang nyata. Akhir-akhir ini pengembangan dalam sejarah metafor yang secara radikal merubah nilai-nilainya sebagai suatu alat rethorikal dan instrumen akademis. Sebagai suatu “kiasan mati/dead metaphor” yang mengurangi sikap kritis dalam menstimulasi pancaindra yang imajinatif.
Sudah waktunya untuk mengabaikan atau memperbaiki suatu metafor. Hal ini diperlukan untuk menguji hubungan antara pakaian dan bahasa dan menentukan dimana persamaan-persamaan itu dipegang dan dimana perbedaan-perbedaan itu ada. Perlu dilakukan penelitian yang cermat dalam meneliti metafor baru yang menjanjikan suatu ide yang lebih jelas dari properti-properti ekspresif mengenai pakaian dan kejadian-kejadian yang lain mengenai materi kultur yang yang memberikan dukungan untuk budaya.
Jakobson dan Halle (1956:58-62) mengimplikasikan operasi dari dua prinsip linguistik (ef. De Saussure 1966: Barthes 1967).[4] Salah satu prinsipnya, ketika pembicara memilih suatu unit linguistik dari setiap kelas paradigmatik untuk mengisi setiap “slot” korespondensi yang membuat kalimat. Setiap kelas berisi semua unit yang secara potensial mengisi slot yang sama di dalam suatu kalimat. Unit-unit ini mampu mengganti satu untuk yang lain dan oleh karena menikmati suatu ekuivalensi (kesamaan) hubungan. Tapi mereka juga digambarkan oleh perbedaan mereka kepada orang lain dan oleh karena menikmati suatu hubungan yang kontras. Unit-unit dari setiap kelas paradigmatik mungkin dipandang sebagai suatu bidang vertikal yang tidak semuanya berlainan ke tingkah laku kemudi dari mesin slot. Beberapa unit yang berbeda dalam sebuah kalimat secara tertutup dihadiri oleh semua unit yang lain dari kelas tersebut dan memanfaatkan sistem kontras dari setiap represent kelas-kelas tersebut.
Prinsip linguistik yang ke dua, bahwa kombinasi, terjadi ketika pembicara mengkombinasikan unit-unit yang dipilih dari kelas-kelas paradigmatic ke dalam suatu rantai sintagmatis. Rantai ini berisi slot-slot yang beragam untuk alternatif-alternatif paradigmatik yang ada. Aturan-aturan kombinasi menetapkan bagaimana unit-unit dikombinasikan ke dalam suatu rantai sintagmatik. Ini adalah bidang horizontal bahasa yang memberikan bahasa linearnya, yaitu aspek diskursif. Beberapa rantai sintagmatis membuat suatu konteks percontohan yang peranan-peranan pada makna disetiap unitnya dimasukkan ke dalam speech (logat). Unitnya siap digambarkan oleh hubungan-hubungan paradigmanya, mengalami suatu proses definisi lebih lanjut ketika unit bergabung dengan item-item yang lain dalam suatu rantai sintagmatis.
Kode dari beberapa bahasa tertentu terkandung dalam suatu spesifikasi unit-unit dari kelas-kelas paradigmatik dan aturan-aturan untuk kombinasi sintagmatisnya. Kode menetapkan bagaimana prinsip-prinsip seleksi dan kombinasi digunakan pada beberapa latihan linguistik tertentu.
Setiap pembicara dari suatu bahasa dibatasi dan dikuasai oleh kode yang memberitahukan kegunaan bahasanya. Seseorang diharuskan memilih cara yang membedakan fitur-fitur yang telah digambarkan dan dikombinasikan ke bentuk fonem. Seseorang diharuskan memilih cara yang mana fonem-fonem telah digambarkan dan dikombinasikan ke bentuk morfem. Kreasi kalimat yang keluar dari morfem juga dibatasi tapi disini pembicara menikmati suatu kemampuan bebas-menentukan yang terbatas dan kebebasan kombinatorial. Kemampuan bebas-menentukan meningkat ketika pembicara mengkombinasikan kalimat-kalimat kedalam ucapan-ucapan. Dengan langkah ini tindakan peraturan wajib mengenai kombinasi semuanya telah berhenti sama sekali. Pembicara tidak lama dibatasi tapi bebas dalam aktivitas kombinatorialnya. Jakobson dan Halle menunjuk ke karakteristik bahasa ini sebagai “suatu skala menaik dari kebebasan” (1956:60). Pada skala dasarnya pembicara dibatasi secara penuh, pada puncaknya dia (laki-laki atau perempuan) sepenuhnya bebas. Karakter bahasa yang rangkap ini yang membiarkannya untuk berdiri sebagai suatu kolektif dan makna sistematis dari komunikasi dan sebagai suatu instrument dari berbagai ekspresif yang potensial terus-menerus.
Model bahasa diilustrasikan oleh Neich (1982) di dalam studi dekorasi-diri di Mount Hagen New Guinea.[5] Meich berpendapat bahwa kita harus memperlakukan dekorasi-diri ini sebagai suatu kode yang menetapkan pilihan-pilihan yang sesuai untuk kombinasi sintagmatik. Seorang Hagener memilih suatu unit dekoratif dari setiap kelas paradigmatik dan mengkombinasikannya ke dalam suatu rantai sintagmatis, perlengkapan pakaiannya. Apakah Hagener tersebut merupakan seorang pendonor, membantu donor, prajurit dan sebagainya, bisa dibaca oleh observer dari dekorasi tubuhnya. Bagi Neich, dekorasi ini menunjukkan prinsip-prinsip bahasa. Dia membantah bahwa dekorasi-diri Hagener, diuji dilihat dari sudut pandang suatu model linguistik struktural, mengungkapkan seperti karakter bahasa, dan kita bisa menyebutnya suatu “ semiotik atau sistem mengenai tanda” (1982:217) (cf. Barthes 1967:111).
Menurut Grant McCracken aplikasi dari model linguistik struktural ke pakaian itu meragukan. Ketika pakaian menyerupai bahasa di dalam beberapa testimonial, meninggalkannya di dalam suatu cara yang fundamental. Ironisnya, ketika pakaian secara penuh menyesuaikan ke bahasa dan prinsip-prinsipnya mengenai seleksi dan kombinasi, sepenuhnya gagal sebagai suatu alat semiotik. Atau dengan cara yang lain, ketika pakaian sebagai suatu kode itu hampir menyerupai bahasa, hanya sedikit yang berhasil sebagai alat komunikasi. Terdapat perluasan suatu perbedaan yang fundamental antara bahasa dan pakaian. Perbedaan ini harus diperhitungkan jika kita akan membuat suatu pengujian yang sukses mengenai aspek komunikatif dari bahasa.
Yang sesuai untuk memecahkan kode perilaku adalah semacam kode yang khas dari pakaian. Pakaian sebagai alat komunikasi tidak mempunyai aspek sintagmatis yang asli. Kode tidak memberikan aturan-aturan kombinasi untuk manipulasi seleksi-seleksi paradigmatik ke efek-efek semiotik. Kombinasi unsur-unsur pakaian bukan suatu bagian krusial dari kreasi pesan-pesan yang diberikan oleh pakaian. Kode tidak mempunyai kapasitas generatif. Para penggunanya menikmati bukan kebebasan kombinatorial.

Kode pakaian yang menggunakan terma-terma dari poin yang diberikan oleh Jakobson, hampir semuanya dibatasi. Tidak memiliki suatu kebebasan dalam skala naik. Kode yang ditetapkan tidak hanya komponen-komponen dari pesan, tapi juga pesan-pesan mereka sendiri. pesan-pesan ini datang, seolah-olah seperti sebelum dibuat (pre-fabricated). Karena pemakai tidak memiliki kebebasan kombinatorial, interpreter dari pakaian menguji suatu prelengkapan tidak untuk suatu pesan baru tapi untuk sesuatu yang kuno/lama yang ditetapkan oleh konvensi. Kebebasan kombinatorial bisa dilatih oleh pemakai hanya dengan efek yang membingungkan interpreter. Kebebasan kombinatorial tidak bisa coba dalam pakaian tanpa melepas pakaian ini dari potensi dan efek kombinatorialnya.

Aspek dari kode pakaian diantisipasi oleh Jakobson. Pada sebuah artikel berjudul “Language and its Relation to Other Communication System” (1971)[6], Jakobson membantah bahwa untuk alat-alat komunikasi non-linguistik tertentu, kode merupakan suatu koleksi pesan-pesan dibandingkan suatu alat untuk kreasi mereka. tidak sama dengan bahasa, yang menetapkan tanda dan aturan untuk kombinasinya ke dalam pesan-pesan, sebuah sistem seperti halnya pakaian memberikan peluang yang tidak generatif, dan oleh karena itu harus menetapkan kemajuan dari tindakan komunikasi apapun pesan-pesan yang mana kodenya itu mampu (cf. Culler 1975:3-54).[7]

Dari teori-teori mengenai pakaian sebagai bahasa, bisa kita lihat dalam fashion yang disajikan dalam gaya punk dan Harajuku. Fashion merupakan suatu tanda. Fashion juga merupakan bahasa. suatu tanda ekspresi diri, sebagai bahasa dalam mengungkapkan sesuatu. Seperti pemakaian rantai, tindik, tato, gaya rambut dan pakaian yang dikenakannya. Di negara asalnya, Fashion dan gaya hidup Punk dan Harajuku digunakan sebagai simbol resistansi, ideologi dan pemberontakan mengenai sistem pemerintahan dan kultur yang digunakan di negara asalnya.



Fashion di Indonesia : Adaptasi dari negara lain
Tak begitu banyak dasar kelahiran fashion baru yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Padahal Indonesia kaya akan adat dan budaya, sebuah bangsa yang multukultural, yang tentunya beragam pula pakaian-pakaian daerah yang dimiliki. Ini sangat layak untuk diangkat kepermukaan. Namun, banyak yang beranggapan bahwa pakaian tradisional hanya pantas atau layak dipakai pada momen-momen tertentu, seperti dalam pelaksanaan upacara adat, acara pernikahan dan acara penting lainnya. sebenarnya untuk mengubah kekakuan budaya dalam berpakaian itu tidak terlalu sulit, hanya saja kita perlu sedikit merubah gaya atau mode pakaian tradisional agar terlihat nyaman, santai dan trendy, disesuaikan dengan jiwa para kawula Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari beberapa desainer yang membuat kebaya dengan berbagai mode, memadu-padankan dengan pakaian modern lainnya. Kain batik yang biasanya dipakain untuk acara-acara formal, dipermak sedikit menjadi gaun santai untuk dirumah atau pakaian untuk acara santai lainnya. Namun tetap saja ada kendala untuk mensosialisasikannya, atau mungkin jiwa nasionalisme sudah sedikit memudar. Mungkin orang Indonesia kurang begitu berani mengekspresikan dirinya sebagai suatu bangsa yang multikultural, terpaku dalam sebuah kekakuan budaya. Mayoritas mode fashion diadaptasi dari negara-negara lain seperti Inggris, Amerika, Jepang atau China yang memang sedang tren di negara tersebut. Begitu banyaknya adaptasi fashion dari negara lain membuat suatu “kebingungan” tersendiri bagi bangsa Indonesia, khususnya kawula muda, untuk menemukan identitas diri sebagai bangsa Indonesia.


punk style

Punk adalah semacam gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja, merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Punk juga bisa diartikan sebagai jenis musik atau genre yang lahir pada awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Punk segera merambah Amerika yang pada saat itu mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi.
Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal.
Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.
Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan bahkan masalah agama.



harajuku style

Hampir menyerupai Punk, Harajuku merupakan suatu gaya baru yang serba ‘tabrak’, baik dalam warna maupun mix and match berpakaian dan juga gaya rambut. Gaya ini berasal dari Jepang, yang hadir menjadi trend dunia setelah beberapa waktu gaya Punk ‘berkuasa’ di dunia fashion dan life style. Harajuku merupakan aliran fashion yang berasal dari jepang. Harajuku sendiri sebenarnya merupakan suatu kawasan kecil di Tokyo. Merupakan sebuah tempat berkumpulnya anak-anak muda dengan dandanan yang ekspresif, nyentrik dan “aneh”. Harajuku merupakan sebuah kawasan yang ramai, disesaki oleh toko-toko dan para pemberontak busana yang dalam bahasa positifnya disebut “trend setter“. Busana yang sangat tidak Jepang tetapi di saat yang bersamaan, sangat Jepang. Harajuku style adalah suatu simbol pembrontakan anak-anak muda Jepang terhadap tradisi yang ada dalam budaya Jepang. Harajuku merupakan ikon pemberontakan gaya busana di Jepang. Gaya ini muncul di era tahun 80-90-an.

Psikolog brilian asal Rusia, Pavel Semenov, menyimpulkan bahwa manusia memuaskan kelaparannya akan pengetahuan dengan dua cara. Pertama, melakukan penelitian terhadap lingkungannya dan mengatur hasil penelitian tersebut secara rasional (sains). Kedua, mengatur ulang lingkungan terdekatnya dengan tujuan membuat sesuatu yang baru (seni). [8]

Dari definisi diatas, punk dan harajuku dapat dikategorikan sebagai bagian dari dunia kesenian. Gaya hidup dan pola pikir para pendahulu punk dan harajuku mirip dengan para pendahulu gerakan seni avant-garde, yaitu dandanan nyleneh, mengaburkan batas antara idealisme seni dan kenyataan hidup, memprovokasi audiens secara terang-terangan, menggunakan para penampil (performer) berkualitas rendah dan mereorganisasi (atau mendisorganisasi) secara drastis kemapanan gaya hidup. Para penganut awal kedua aliran tersebut juga meyakini satu hal, bahwa hebohnya penampilan (appearances) harus disertai dengan hebohnya pemikiran (ideas).




Pergantian trend di Indonesia : dari punk style ke harajuku style

Di Indonesia gaya punk hadir terlebih dahulu. Menghebohkan dunia fashion anak muda di Indonesia. Mereka berlomba-lomba bergaya ala punk. Dari pakaian, gaya rambut, aksesoris dan bahkan banyak pula diantara mereka yang mengikuti gaya hidup ala punk, yaitu anti-kemapanan, yang tercermin dalam hidup mereka yang menggelandang dan berpakaian punk, menjadi pengamen, anak jalanan, pemabuk dan ada pula yang melakukan tindakan criminal. Gaya ini kembali meledak di Indonesia pada awal tahun 2000, dengan gaya yang lebih fashionable, nyentrik namun elegan. Punk yang dulu terkesan kucel, bau dan jarang mandi, sekarang lebih bergaya, modis dan wangi.

Para desainer dan hairstylist berlomba membuat kreasi baru dari gaya Punk ini. Dengan metode mix and match, mamadu-padankan pakaian agar terlihat lebih menarik. Untuk wanitanya, biasanya menggunakan rok denim dipadukan dengan celana legging yang ketat dengan atasan kaus singlet dan jaring-jaring (seperti jaring yang digunakan untuk menangkap ikan) yang sedikit dirobek; sepatu boot ala army. Dengan aksesoris ikat pinggang yang terbuat dari kulit yang diberi pernik-pernik paku dari monel atau besi; kalung yang terbuat dari rantai atau dari kulit yang diberi aksen paku yang runcing; gaya punk dulu pada lidah, hidung dan telinganya penuh tindik, bahkan bibir dan pusar pun tak luput dari tindikan, namun sekarang punk berfungsi sebagai fashion yang harus fashionable jadi tindik tak perlu dilakukan hanya saja keberanian bereksperimen dalam berpakaian dan aksesoris lebih ditonjolkan; memakai sarung tangan yang juga terbuat dari jaring-jaring yang dirobek; tak luput pula make-up yang tebal dengan eye-liner dan lipstick yang berwarna hitam atau gelap ala gothic. Untuk prianya, biasanya memakai jaket denim yang diberi sedikit aksen paku-paku dan gambar-gambar punker dengan kaus yang bermotif sama; memakai celana jeans yang ketat, sedikit dekil dan robek atau celana ketat bermotif kotak-kotak dan tak lupa sepatu boot army-nya. Aksesorisnya tak jauh beda dengan yang dikenakan oleh wanitanya. Gaya rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang. Atau juga gaya rambut spike yang runcing-runcing. Gaya ini benar-benar digandrungi oleh para remaja Indonesia.

Setelah beberapa waktu gaya punk berjaya, masuklah Harajuku ke Indonesia. Menggeser gaya lama ke gaya baru. Para pecinta tren berlomba meninggalkan gaya lama mereka yang terkesan ‘punk abis’ ke tren yang lebih up to date, harajuku style. Suatu gaya baru yang lebih ektrim dalam pemakaian warna, baik dalam berpakaian, gaya rambut maupun aksesorisnya. Para pakar rambut membuat rambut anak muda lebih ekspresif dengan model dan warna rambut yang sekarang. Kebosanan yang timbul dari model rambut lurus kaku dan panjang ini menimbulkan tren yang lebih natural. Rambut bergelombang dan mengembang merupakan tren yang sangat kontradiktif dari tahun lalu. Model potongan rambut asimetris, gemetrik, spike dan ditambah dengan warna-warna rambut yang lebih berani mengekspresikan jiwa anak muda yang dinamis, ekspresif, jiwa pemberontak dan sulit diatur. Konsep potongannya, cenderung berantakan, berani, dan unik. Di Jepang, potongan rambut seperti ini memang sedang mewabah. Jepang, Korea, dan Hongkong kini memang jadi kiblat mode Asia. Gaya remaja di sana yang inovatif dan berani sering jadi contekan buat remaja di Indonesia.
Pakaiannya pun tak jauh berbeda dengan Punk, hanya saja Harajuku tampil lebih berani. Misalkan untuk wanitanya berpakaian ala Sailormoon, busana bernuansa gothic, Cinderella berwajah drakula dengan mengenakan sepatu boot high heels. Untuk prianya misalkan bergaya ala pakaian pangeran Inggris dengan menggunakan kalung dan ikat pinggang rantai, dan bermake-up tebal ala gothic tapi memakai listic warna merah; rambut yang di potong asimetris dan berwarna merah muda dan hijau, sungguh kontras sekali dengan keadaan yang sebenarnya. Pirantinya pun dengan menggunakan rambut imitasi warna-warni, kuku temple, cat muka, busana ultra negong, tato tempelan, butiran plasitik kerlap-kerlip (glitter), hingga gigi drakula dan tak lupa memakai jangkar kapal yang dipadu dengan stocking merah jambu.



Fashion dan Kebudayaan Populer

Ekspansi ekonomi membuat perubahan dalam segala bidang. Tak hanya dalam hal produksi namun juga konsumsi. Ekspansi ekonomi menjadi dasar revolusi dalam kebiasaan, kepercayaan dan pengalaman sehari-hari, bahkan sekarang fashion itu sendiri menjadi suatu media untuk mengekspresikan nilai-nilai modernitas.[9] dalam perubahan gaya punk dan Harajuku, terdapat suatu pergerakan dari display ke identitas, yaitu identitas mengenai modernitas. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer dan memungkinkannya menjadi bagian dari kebudayaan populer.
Sekitar abad 19 dan abad 20-an terjadi perubahan fungsi dan mode pakaian, baik wanita maupun pria, sebagai simbol identitas diri. Pakaian menjadi identitas gender bagi wanita dan pria. Pria dengan pakaian celana dan kemeja panjangnya; sedangkan wanita dengan pakaian gaun panjangnya. Pada abad ke-19, terjadi perubahan besar dalam dunia fashion, suatu pergerakan penampilan menjadi identitas. Fashion dijadikan sebagai tanda member dari suatu kelas, caste atau pekerjaan. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer dan manufaktur pakaian massa yang memungkinkannya untuk menjadi bagian dari kebudayaan populer. [10]

Suatu single style tidak akan lama mendominasi dalam periode postmodern. Sebagai gantinya ada cara konstan untu mengkreasikan kembali suasana. Bagi beberapa puritan yang radikal, pada sisi lain, fashion tidak pernah lebih dari ‘democracy of the image’, suatu fatamorgana yang menyesatkan keinginan ‘riil’ kita dengan mengubah mereka ke dalam komoditas, dan individualitas ke dalam konformitas (penyesuaian). Fashion-fashion massa (masyarakat) dari sudut pandang ini hanya uniform suatu masyarakat belaka dalam suatu demokrasi yang hanya sebuah kata dengungan saja, dan melayani hanya untuk menyembunyikan ketidaksamaan kekayaan dan kesempatan. Mereka telah menguraikan beragam jenis entertainmen populer sebagai tempat struggle (perlawanan), sebagai arena di mana konflik masyarakat dimainkan dalam bentuk-bentuk semi-simbolik yang mungkin lebih tinggi (heighten) dari pada drug yang menekan kesadaran. Fashion sebagai kolektif sama seperti suatu perusahaan yang sangat individualistic, sebuah makna-makna ekspresi pada suatu solidaritas skala masyarakat dan identitas kelompok.

Di negara asalnya, Punk merupakan gerakan subkultur di Inggris pada tahun 1970-an. Awalnya, punk merupakan suatu gerakan ideologis. Gerakan ini diawali oleh anak-anak golongan kelas pekerja yang akhirnya merambah ke Amerika. Punk merupakan suatu gerakan yang menentang ideologi politik, ekonomi dan sosial yang dianut dalam sistem pemerintahan negara tersebut. Kesenjangan sosial dan ekonomi dan juga kemerosotan moral membangkitkan semangat perlawanan terhadap invasi kapitalis dan tentunya juga terhadap para penguasa dan petinggi negara. Mereka melakukan protes dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang berisikan kritikan-kritikan pedas. Punk pun selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang pada saat itu didominasi oleh musisi rock mapan seperti The Beatles dan Rolling Stone. Lagu-lagu punk nampak seperti teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia yang dikuasai pihak kapitalis dan penguasa. Lirik-lirik lagu punk yang menceritakan rasa frustasi, kemarahan, kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat; akibatnya punk dicap sebagai musik rock n’roll aliran kiri, punk dianggap sebagai pemberontak, sehingga punk sulit mendapatkan kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka.[11]
Tindakan ekstrim punk tak hanya dalam musik, namun juga melakukan protes cara yang lain. Mereka mengharamkan memakai produk-produk yang bermerek yang di produksi oleh pihak kapitalis. Mereka lebih menyukai hidup sebagai “gembel” di jalanan, makan makanan bekas yang mereka pungut dari tong sampah atau sisa makanan orang lain; berpakaian sederhana, yang ketat dan sedikit robekan dan bahkan ada yang menambahkan kantung plastik sebagai “aksesoris”. Ideologi anarkisme yang diusung oleh punk dimaknai bahwa anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam kehidupan sehari-hari, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai dengan keinginan mereka. punk etika semacam ini disebut dengan DIY (Do It Yourself). Keterlibatan kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam gerakannya.
Tak dapat dimengerti, mengapa gaya berpakaian seperti ini bisa menjadi suatu tren, apa lagi sampai diadaptasi oleh negara-negara lain. Yang jelas, punk berusaha membebaskan sesuatu yang membelenggu pada zamannya masing-masing. Namun sekarang punk hanya sekedar gaya. Sebuah gaya yang menonjolkan sisi kepercayaan diri seseorang dalam kemampuannya mengikuti arus tren. Punk merupakan komodifikasi gaya berpakaian sebagai usaha pemilik modal. Dalam hal ini, pihak kapitalis-lah yang mendapat keuntungan dari tren gaya punk, karena pihak kapitalis yang menyediakan, merubah dalam bentuk baru yang lebih layak dan menarik; mengkomodifikasi dan mengangkat sebuah gaya fashion kepermukaan dalam bentuk tren baru yang wajib diikuti. Tetapi walaupun begitu punk tetap sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya modern yang serba seragam. Menunjukan idealisme seseorang dalam berpakaian. Menunjukkan bahwa keseragaman budaya modern hanya sebagai bentuk pengekangan diri yang ekspresif. Dan ini serupa dengan gaya Harajuku,yang memprotes kekakuan dalam budaya Jepang yang ditunjukkan dengan cara berpakaian mereka.



Akhiran

Gaya hidup itu relatif, tidak ada seorangpun yang memiliki gaya hidup sama dengan lainnya. Ideologi diambil dari kata "ideas" dan "logos" yang berarti buah pikiran murni dalam kehidupan. Gaya hidup dan ideologi berkembang sesuai dengan tempat, waktu dan situasi maka punk kalisari pada saat ini mulai mengembangkan proyek "jor-joran" yaitu manfaatkan media sebelum media memanfaatkan kita. Dengan kata lain punk dan harajuku berusaha membebaskan sesuatu yang membelenggu pada zamannya masing-masing.

Pada awalnya gaya Harajuku dan Punk itu merupakan suatu bentuk pemberontakan. Sebagai simbol kritikan terhadap kekakuan budaya dan ideologisme suatu negara. Punk mengekspresikannya dalam cara berpakaian dan gaya hidup untuk menentang militarisme dalam negara, mengkritik korupsi dan kesewenang-wenangan para petinggi negara dan menentang kaum kapitalisme. Tak hanya dalam berpakaian, mereka juga melakukan kritikan dalam bentuk syair lagu yang mereka buat. Sedangkan Harajuku, tak jauh berbeda dengan Punk, melakukan kritikan terhadap kekakuan dalam berbusana pada budaya Jepang dan mengekspresikannya dalam berbusana. Selain itu, sebagai pelepas kejenuhan ketentuan, aturan dan kesibukan negara Jepang.
Namun bagi negara lain, negara yang mengadaptasi gaya-gaya tersebut, itu tak lebih hanya sebuah tren saja. Suatu mode terbaru yang wajib diikuti, karena kalau tidak pastilah akan dianggap kuno atau ketinggalan jaman. Kontras sekali dengan keadaan yang sesungguhnya bukan?
Namun apakah ini juga berlaku untuk Indonesia? Sebuah bangsa yang hanya mampu meniru apa yang sedang in di negara lain (di sini adalah fashion dan life style). Jika kita mau meninjau kembali, mengkaji ulang, menggali dan memunculkan kepermukaan, sebenarnya Indonesia sendiri memiliki point yang tidak dimiliki oleh negara tren senter, yaitu keragaman budaya. Bisa kita lihat, begitu beragamnya pakaian adat dan gaya hidup masyarakat. Dengan itu, sebenarnya Indonesia juga mampu menjadi trend center. Tapi sepertinya bangsa Indonesia sendiri sudah kehilangan identitasnya sebagai suatu bangsa yang memiliki keragaman budaya yang melimpah. Atau mungkin bangsa Indonesia sendiri tidak mempunyai identitas sehingga dunia fashion-nya mengalami stagnasi dan hanya mampu mengadaptasi dari negara lain.
Gaya sebagai suatu cara hidup, sebagai diri sendiri dan gaya juga sebagai suatu kesenangan. Fashion sebagai kolektif yang sangat individualistic, sebuah makna-makna ekspresi pada suatu solidaritas skala masyarakat dan identitas kelompok. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer, dan manufaktur pakaian massa yang memungkinkannya untuk menjadi bagian dari kebudayaan populer. Fashion berubah dari display ke identitas.


Waiting For a Miracle, 16 Juni 2007
Indah Rephi
23919/IV-13/9/06
Matakuliah : Gaya Hidup dan Budaya Konsumen
Dosen Pengampu : Dr. Irwan Abdullah









DAFTAR PUSTAKA





McCracken, Grant. “Clothing as Language : An Object Lesson in the Study of the Expressive Properties of Material Culture” dalam Culture and Consumption. New Aproaches to the Symbolic Character of Consummer Goods and Activities. Indiana University Press, 57-70: 1998.

Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.

http://en.wikipedia.org/wiki/Gothic_Lolita

http://ndobos.com/archives/70

http://www.japaneselifestyle.com.au/tokyo/harajuku.htm

http://lautan.indosiar.com/topic.asp?TOPIC_ID=35578

http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Gaul&id=113259
http://www.tokyoessentials.com/harajuku.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Punk

[1] Dalam artikel yang ditulis oleh Grant McCracken yang berjudul “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture,” tertulis bahwa beberapa observer melakukan penelitian terhadap pakaian yang dikenakan oleh beberapa negara menyatakan bahwa pakaian itu merupakan suatu bahasa.
[2] Tinjauan pustaka yang dikutip dari artikel Grant McCracken (Gibbins 1971: Gibbins dan Schneider 1980; Holman 1980b, 1980c, 1981; Roach dan Eicher 1979; Rosenfeld dan Plax 1977) seperti halnya penulis-penulis populer lainnya (e.g., Lurie 1981).
[3] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[4] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[5] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[6] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[7] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[8] Di kutip dalam sebuah artikel yang berjudul “Punk” dari URL http://id.wikipedia.org/wiki/Punk
[9] Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.

[10] Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.
[11] Di kutip dalam sebuah artikel yang berjudul “Punk” dari URL http://id.wikipedia.org/wiki/Punk

Tidak ada komentar: